Terdapat dua sosok tokoh masyarakat yang hidup dalam tradisi masyarakat Sunda yang peran utamanya selaku pengasuh. Pertama, Panakawan (atau lebih dikenal dengan istilah Punakawan -pen). Kedua, Kabayan.
Meskipun sama-sama menjadi pengasuh, namun entitas peran yang dilakukan oleh kedua tokoh ini berbeda. Panakawan ditugasi untuk mengasuh para ksatria dari mulai mempersiapkan mereka untuk menjadi benar-benar menjadi ksatria hingga mendampinginya pasca mereka selesai menjalani tugas ksatriaannya.
Para Panakawan bertugas untuk memberikan ajaran, nasehat hingga menunjukkan rambu-rambu kebaikan kepada para ksatria agar selama menjalani tugas ksatriaannya mereka tidak sampai salah langkah. Agar mereka tetap amanah dalam menjalani tugasnya sebagai abdi negara hingga diakhir jabatan dan hayatnya mereka tetap dipandang shaleh dimata rakyatnya dan terutama di mata Tuhan.
Kabayan sendiri bertugas untuk menjadi pengasuh bagi masyarakat jelata. Keberadaan mereka dimasyarakat adalah untuk membantu mereka menjadi masyarakat berdaya, yang paham akan potensi, hak serta kewenangan dan tanggung jawab mereka sebagai masyarakat.
Dengan tugas yang dibebankan tadi, tentunya menuntut konsekuensi berbeda yang mereka dapatkan. Soal identitas mereka misalnya. Karena yang mereka asuh dan damping para ksatria, maka segala atribut asal yang melekat dan menghiasi diri para Panakawan tetap dapat mereka pergunakan. Mereka dapat tetap mempergunakan gelar lurahnya, jenderalnya, profesornya, kyainya atau pangkat-pangkat lainnya.
Bagi seorang ksatria, atribut-atribut asal para Panakawan tadi tentu takkan menjatuhkan kehormatan dirinya sebagai seorang ksatria. Alih-alih, hal itu justru akan menambah kewibawaannya, baik dimata sesama ksatria, para bawahannya, maupun dimata rakyatnya. Bukan tak mungkin, mereka bahkan akan dipandang sebagai ksatria agung karena dalam kesehariannya didampingi oleh orang yang telah diakui integritasnya.
Sebagaimana status sebagai pengasuh dan pendamping para ksatria pun tampaknya telah menambah gengsi pribadi para Panakawan, paling tidak dimata masyarakat sekitarnya.
Bagi para Kabayan sendiri justru terjadi sebaliknya. Untuk benar-benar bisa menjadi pengasuh dan pendamping masyarakat, hal pertama yang harus mereka lakukan adalah menempatkan diri mereka sebagai bagian integral masyarakatnya. Kehidupan masyarakat merupakan ruang awam yang sangat mudah terjadinya justifikasi sosial tentang segala hal. Keberadaan atribut yang melekat pada diri seorang Kabayan tentunya akan membuat masyarakat menempatkan seorang Kabayan sebagai dirinya dan mereka sendiri sebagai bagian yang lainnya.
Karena itu, ketika sudah berada di masyarakat, para Kabayan pasti telah mengganti bajunya menjadi seorang petani namun sebagai petani teladan, seorang guru namun guru teladan, atau seorang tabib dan pedagang namun tabib dan pedagang yang baik dan murah hati. Tentang siapa sebenarnya mereka, sama sekali tidak ada seorang pun anggota masyarakat yang mengetahui.
Itulah sebab, di masyarakat Sunda, ada ditemukan makam para Kabayan dan bahkan terus mereka rawat dan lestarikan keberadaannya. Namun siapa sebenarnya para Kabayan itu, sama sekali tidak ada yang mengetahui. Yang mereka tahu, itu adalah kuburan dari orang yang, karena jasa-jasanya terhadap leluhur mereka dimasa lalu, harus mereka hormati. Demikian kanyataan ini dapat kita jumpai secara jamak di masyarakat perdesaan yang hidup di sekitar Cianjur, Bogor, dan Sukabumi, serta sekitar Banten.
Yang lebih memprihatinkan, bahkan keberadaan para Kabayan dan jasanya ini tak jarang justru disepelekan. Baik masyarakat dimana mereka semestinya harus berterima kasih karena telah diasuh dan didampingi hidupnya. Juga oleh para ksatria yang seharusnya sadar bilamana keberadaan para Kabayan ini sebenarnya telah banyak membantu meringankan tugas mereka selaku pamong masyarakat. Â