Mohon tunggu...
Aat Suwanto
Aat Suwanto Mohon Tunggu... Administrasi - hirup mah ngan saukur heuheuy jeung deudeuh

Tukang main, sesekali belajar menjadi pemerhati dan peneliti serta penulis (dengan 'p' kecil) di bidang Pariwisata, selain juga menulis essai di bidang humaniora, serta menulis cerpen dan novel terutama dalam bahasa daerah Sunda.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Metatesis Si Kabayan ke-1

5 Februari 2014   12:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:08 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Metatesis Sastra: Catatan Tentang Persoalan Apresiasi

Apa yang kami kemukakan nanti merupakan hasil upaya tela’ah Metatesis kami terhadap karya sastra dongeng Si Kabayan selaku karya sastra. Dalam hal ini, dongeng Si Kabayan kiranya tergolong sebagai karya sastra tutur.

Mengenai persoalan “Apakah Sastra” dan bahkan “Apakah dongeng” –terkait dongeng Si Kabayan selaku dongeng yang dijadikan kasus dalam buku ini–, kiranya kita semua, meskipun awam terhadap dunia sastra sehingga tak dapat mengemukakannya secara metodis dan sistematis, namun tentu sudah sangat mengetahui dan memahaminya. Masalahnya, Metatesis sendiri apa?

Pertanyaan diatas memang pantas terlontar. Hal ini karena, jangankan bagi orang yang masih awam dalam dunia  tela’ah teks. Untuk orang yang telah terbiasa hidup dengan dunia tela’ah teks sekali pun, secara khusus terhadap teks sastra, pasti akan terasa asing. Dalam dunia tela’ah teks, istilah Metatesis memang bukan istilah lazim sebagaimana istilah Hermeneutik atau Dekonstruksi. Malah sebenarnya, saya yakin, istilah ini, dalam pemahaman yang akan kami paparkan dibawah, belum pernah ditemukan ada yang mempergunakan. Kenapa. Karena kata ini sepenuhnya dipergunakan memang atas inisiatif kami pribadi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Jakarta: 2008) dan Kamus Umum Basa Sunda Terbitan Tarate (Bandung:1992), lebih kurang, Metatesis di artikan sebagai peristiwa terjadinya pertukaran bunyi atau hurup dalam sebuah kata yang terkadang –jadi tidak melulu– berakibat pada terjadinya perubahan arti. Namun disini kami akan memberikan batasan Metatesis sebagai upaya memberikan pemahaman alternatif terhadap suatu teks daripada pemahaman lain yang telah lazim dari persoalan yang sama. Cara Metatesis ini ditujukan agar sebuah teks bisa dipahami tidak hanya dari satu sudut pandang tertentu saja, melainkan sejauh mungkin dari berbagai macam sudut pandang. Sehingga, dengan adanya pemahaman-pemahaman alternatif ini, diharapkan kita pun bisa lebih terbuka dalam memahami teks dimaksud, meskipun tentunya pemahaman dimaksud tidak melulu obyektif namun juga subyektif. Bahkan mungkin terkedan mengada-ada (seperti, mungkin, akan para pembaca banyak temukan pada buku ini).

Terus terang, sepertinya apa yang kami lakukan ini terlampau dipaksakan. Namun demikian, kiranya kami tetap harus melakukannya karena, akibat keterbatasan wawasan pengetahuan kami, hingga kini kami belum menemukan dan mengetahui kalau ada kata yang lebih cocok untuk mewakili maksud kami. Termasuk halnya melalui cara-cara yang telah umum dipergunakan dalam dunia tela’ah teks seperti Hermeunetika dan Dekonstruksi itu. Hermeneutika, misalnya, sejauh pemahaman kami, sebagai cara penafsiran yang bersifat keilmuan, maka hasil penafsiran Hermeneutika pun, tak bisa tidak, harus ta’at asas terhadap aturan-aturan pokok dunia sains, terutama soal kebenaran Hermeneutika harus logis dan obyektif. Sedang pendapat kami soal Si Kabayan nanti, meski kami akan selalu berusaha untuk mengemukakan alasan-alasan ‘logis’ sebagaimana penafsiran Hermeneutika yang harus selalu ilmiah, namun kiranya pendapat kami akan cenderung lebih bersifat spekulatif dan subyektif sebagaimana halnya pendapat-pendapat yang hidup dalam dunia filsafat, kalau pun sebenarnya tela’ah yang kami lakukan ini sendiri sama sekali tidak bertujuan untuk melakukan tela’ah falsafati sebagaimana tela’ah yang dilakukan oleh tela’ah Dekonstruksi.

Namun keengganan kami untuk mempergunakan istilah Hermeuneutika adalah karena langkah Metatesis yang kami lakukan tidak bermaksud untuk melakukan langkah korektif, atau untuk mempertanyakan, atau menyalahkan pemahaman lama dari teks yang sama yang kami tela’ah (meskipun harus kami akui pula, dengan menuliskan pendapat kami ini, secara tak langsung sebetulnya kami pun telah turut mempertanyakan, atau menyalahkan pemahaman lain tersebut –pen). Sedang metoda Hermeneutika, karena metoda ini sebagai metoda sains, maka bagaimana pun juga pasti akan selalu cenderung untuk melakukan tindakan korektif terhadap kebenaran sebelumnya. Itulah sebabnya sehingga kami pun tidak berkeinginan untuk mempergunakan istilah Dekonstruksi, karena tela’ah Dekonstruksi, dalam cara menela’ahnya, selalu bersifat korektif pula.

Melalui cara Metatesis, kami hanya ingin memberikan pemahaman lain tanpa dilatarbelakangi oleh keinginan untuk ‘membunuh’ pemahaman-pemahaman lainnya yang sebelumnya telah ada. Hasil Metatesis kami hanyalah sekedar pemahaman alternatif kami dalam menyingkapi suatu persoalan disamping pemahaman-pemahaman lain yang kami maksud. Jadi bukan sebagai tandingan yang cenderung akan selalu menyalahkan pemahaman lama tersebut.

Sekali lagi, kami memang tidak hendak memberikan pemahaman korektif, karena kami sadar, sebuah teks, dalam kedudukannya sebagai suatu persoalan yang harus dikaji, bagaimana pun akan selalu bermuka dua, sehingga tak mungkin dapat dipahami secara utuh. Terlebih lagi pemahaman terhadap teks sastra yang memang selalu dibuat dalam berbagai keterkaitan pesan yang bersifat ambigu sehingga hampir tidak mungkin jika sebuah karya sastra hanya memiliki sebuah kebenaran yang bersifat mutlak. Dalam hal ini, disaat kita telah mengganggap bilamana apa yang telah kita pahami sebagai kebenaran sebenarnya dari teks tersebut, pada kenyataannya pada suatu kesempatan lain kita pun akan menemukan ternyata ada pemahaman lain dari teks yang sama yang mengandung kemungkinan kebenarannya pula. Celakanya, pemahaman yang lain ini bahkan seringkali tak disadari kemunculannya oleh pengarang/penulisnya.

Lebih celaka lagi, meski sewaktu menulis teksnya si penulis/pengarang teks tersebut tetap selalu terikat ruang dan waktu, namun ketika teks benar-benar telah menjadi sebuah teks maka teks tersebut akan menjadi suatu materi yang berada diluar jangkauan ruang dan waktu. Akibatnya, kalau pun pemahaman lain yang tak dikehendaki tersebut ingin si penulis/pengarang sembunyikan atau hilangkan, namun tentunya pemahaman dimaksud sudah takkan mungkin lagi mereka cegah, sembunyikan, apalagi dihilangkan. Karena itulah, berdasar pemikiran kami ini, maka kami pun sadar bilamana bagaimana pun belum tentu kalau hasil tela’ah kami adalah sebagai tela’ah yang benar, sedang yang lama adalah salah. Mungkin saja justru hasil tela’ah kami yang salah, dan justru justru pemahaman lama itulah yang memang benar. Yang kami inginkan hanyalah, dengan adanya pemahaman alternatif ini, kami harapkan agar kita bisa mendapat pemahaman-pemahaman baru yang nantinya, dari pemahaman baru tersebut, paling tidak, kita bisa belajar untuk tidak selalu berfanatik kepada salah satu kebenaran tertentu sebagai satu-satunya kebenaran mutlak. Termasuk halnya untuk mempersoalkan, apakah pemahaman baru tersebut diperoleh dari sudut pandang baru atau pun lama.

Dongeng Si Kabayan sendiri sampai kami jadikan sebagai kasus tela’ah Metatesis kami karena selama ini kiranya kita, khususnya orang-orang Pasundan,  masih memahami dongeng Si Kabayan dengan satu-satunya kebenaran yang seragam; bilamana dongeng ini merupakan gambaran dari cermin laku seorang manusia rendah. Buat kami, kenyataan ini tentu terasa sebagai ironi. Bukan dalam soal kebenarannya itu, yakni bilamana oleh kita tokoh Si Kabayan begitu direndahkan, namun karena kefamiliaran kita terhadap dongeng  Si Kabayan, ternyata belum mampu menghasilkan dinamika pemahaman terhadap dongeng Si Kabayan; atau dalam hal ini terhadap sosok Si Kabayan. Sebagai akibatnya, selama ini kita telah terjebak pada kondisi taklid buta yang membuat kita telah berfanatik untuk terus memegang kebenaran diatas sebagai satu-satunya kebenaran milik kita.

Melalui tela’ah Metatesis, nanti kita akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan utama, kenapa Si Kabayan sampai melulu dianggap rendah seperti itu?; adakah penilaian itu karena ucap dan laku Si Kabayan yang salah, atau karena justru cara kita yang salah dalam memandang diri Si Kabayan?; dan tidakkah, meski sedikit, kita dapat melihat Si Kabayan secara positif, dan lalu berguru kepadanya soal hal positifnya itu?. Namun, bagaimana pula caranya agar kita bisa melihat hal-hal positif dari diri Si Kabayan?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas, kami akan mencoba menela’ah dan memahami dongeng Si Kabayan tidak hanya dari salah satu sudut tertentu, tetapi dari berbagai sudut. Karena itu, nanti kita akan mendapati, terkadang kami memaparkan suatu persoalan dari sudut pandang Si Kabayan langsung, terkadang kami pun akan membicarakan suatu persoalan langsung dari sudut pandang pemikiran common sense kita. Bahkan agar kita dapat menilai diri Si Kabayan secara jernih, tatkala hendak diajak melihat Si Kabayan, terlebih dahulu kami pun akan mengajak anda untuk menukar ‘jiwa dan pikiran’ pribadi anda dengan ‘jiwa dan pikiran’ Si Kabayan. Namun demikian, bisa saja nanti pun kami akan mengajak Si Kabayan untuk duduk dalam posisi kita. Dengan cara ini, diharapkan nanti kita akan bisa memahami ucap dan laku Si Kabayan secara lebih terintegratif, meski untuk seratus persen utuh memahaminya kami yakin rasanya tidak mungkin.

Adapun apa yang kami bicarakan nanti memang akan sepenuhnya menunjukkan sisi-sisi positif dari diri seorang Si Kabayan. Namun bukan berarti kami tidak mengakui sisi-sisi negatifnya. Malah sebaliknya, seperti kami terangkan nanti, kami pun sampai mengakui bilamana Si Kabayan itu sosok manusia dengan sifat-sifat manusiawinya yang paradoks; disatu sisi dia bisa berlaku terpuji namun disisi yang lain dia pun pantas kita benci. Hanya saja, alasan kami sampai hanya menunjukkan sisi-sisi positif Si Kabayan karena kami ingin memberikan sebuah gambaran bilamana sosok Si Kabayan itu tak harus melulu dipandang secara negatif seperti selama ini selalu kita persepsikan. Sehingga Si Kabayan pun bisa menjadi sosok teladan yang sempurna; dalam arti, selaku teladan untuk berlaku maupun untuk tidak berlaku sebagai seorang Si Kabayan.

Selama kami menunjukkan kelebihan-kelebihan diri Si Kabayan nanti, dari sekian banyaknya dongeng Si Kabayan yang ada, kami akan kami telah merujuk hanya pada enam dongeng Si Kabayan yang, kami kira, telah menjadi dongeng Si Kabayan paling populer, dan bahkan telah menjadi master piece dari dongeng Si Kabayan, sehingga siapa pun pasti akan mengenalnya dengan baik, ialah: Si Kabayan Ngala Tutut, Si Kabayan Ngala Injuk, Si Kabayan Jadi Dukun, Si Kabayan Ngadeupaan Lincar, Si Kabayan Di Cukur, dan Si Kabayan Di Jalan Tanjakan. Adapun ke-enam dongeng tersebut dapat kita temukan pada Appendiks buku ini.

Selain itu, seri cerita film Si Kabayan produksi PT. Kharisma Jabar Film, khususnya cerita Si Kabayan Saba Kota, pun kami sertakan selaku bahan rujukan pula. Yang lain, sebuah cerita Si Kabayan yang sebetulnya telah membuat penulis sangat terkesan dan menjadi sumber rujukan utama penulis pula, khususnya dalam soal filsafat Heuheuy dan Deueuh Si Kabayan (hal ini nanti akan kita bicarakan secara khusus pada pembicaraan kita “Kearifan Hidup Si Kabayan” –pen), adalah sebuah dongeng Si Kabayan yang telah diadaftasi ke dalam drama tradisional Sunda –entah berupa gending karesmen atau apa. Sayang sekali judul dan para pemerannya, kami sudah lupa. Namun yang jelas, kami pernah menyaksikan drama dimaksud lewat tanyangan TVRI Bandung sekitar awal tahun 90-an. Pada waktu itu penulis baru menginjak Siswa SMP.

Bahkan, agar kelebihan Si Kabayan bisa tampak secara lebih jelas, dan terutama agar penilaian kita terhadap Si Kabayan bisa lebih ‘adil’ (kata adil disimpan dalam tanda kutif mengingat, seadil-adilnya saya menilai, bagaimana pun, saya takkan pernah dapat menilai secara adil; selain karena apa yang akan kami kemukakan nanti lebih bersifat pendapat spekulatif, sebagaimana telah dikatakan dimuka, juga bukankah penilaian itu sendiri selalu bersifat subjektif? –pen) dalam beberapa pembicaraan kedepan, kami pun akan mencoba membandingkan diri Si Kabayan, selain dengan diri kita sendiri, juga dengan tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita-cerita lain, baik berupa cerita klasik semacam dongeng dan legenda maupun cerita modern semacam novel, baik sebagai karya lokal maupun karya-karya asing. Diantaranya kami akan memperbandingkan diri Si Kabayan dengan Mundinglaya, Lutung Kasarung, dengan Superman, Batman, Abu Nawas, Forest Gump, hingga Dora Emon. Tentu saja, sebagai resiko yang harus kami terima, karena kebanyakan dari tokoh tersebut sebagai tokoh yang –selalu kita katakan– berasal dari cerita untuk anak-anak, dan karena yang apa yang telah kami perbandingkan itu hanya dalam hal-hal yang sederhana, selain juga dengan cara-cara yang sederhana pula, maka akan sangat mungkin bila hasil upaya kami ini pun dapat membuat apa yang kami bicarakan nanti menjadi terasa menggelikan. Sehingga mungkin, selanjutnya kita pun akan menertawakannya.

Apalagi, karena apa yang akan kami kemukakan nanti benar-benar telah berada diluar kebenaran lama yang selama ini telah menjadi keyakinan kita (bahwa Si Kabayan itu selaku tokoh tak patut dicontoh –pen), kami pun menyadari bilamana kita semua akan menerima apa yang kami bicarakan nanti sebagai hal yang konyol, tak masuk akal dan mengada-ada.

Namun kami pun sangat yakin, sesungguhnya, sebagaimana kenyataan yang seringkali terjadi, perbuatan kita yang terasa konyol, tak masuk akal, dan mengada-ada, selain akan mengundang tawa, juga akan menjadi alat kejut bagi jiwa dan pikiran manusia yang menertawakannya untuk melihat dan menyegarkan kembali keyakinan lama kita. Dalam hal ini, termasuk soal penilaian kita terhadap Si Kabayan.

Lebih jauh, hal tersebut pun bisa mendorong hasrat mereka untuk mengadakan rekoreksi terhadap keyakinan lama dimaksud. Dan bila hal ini sampai terjadi kepada kita, sesungguhnya hal tersebut memang yang kami harapkan!

Karena itu, selamat menela’ah hasil tela’ah Metatesis Dongeng Si Kabayan kami. Dan kalau memang hasilnya patut kita tertawakan, kami persilahkan pula untuk menertawakannya!

Cihaurbeuti, 8 April 2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun