Mohon tunggu...
Aswin Siregar
Aswin Siregar Mohon Tunggu... -

Transport planner Road safety audit

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Tentang Pejalan Kaki: "Masihkah Ada Ruang untuk Pejalan Kaki"

25 Juni 2014   04:29 Diperbarui: 22 November 2018   01:06 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu diskusi yang paling  utama di bidang sustainability  transportasi dan teknik jalan (road engineerring) kini adalah ‘apakah lingkungan jalan, di mana orang berjalan dan beraktivitas, telah memenuhi kebutuhan pejalan kaki sebagai manusia?’ Di Eropa, misalnya, dikenal Charter of Pederstrian Rights 1988, sebuah Piagam tentang Hak-hak Pejalan Kaki. Artikel kedua charter ini menyatakan: ‘’Pejalan kaki memiliki hak untuk hidup di pusat-pusat perkotaan ataupun pedesaan yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia, bukan untuk kebutuhan kendaraan bermotor dan memiliki fasilitas untuk berjalan atau bersepeda’’.  Keberadaan charter ini menunjukkan, pembangunan transportasi dan infrastruktur jalan harus selalu menempatkan kebutuhan pejalan kaki sebagai prioritas utama. Di Indonesia, permasalahan pejalan kaki ditegaskan, salah satunya, dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 25 (1) yang menyatakan: “Setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi perlengkapan jalan berupa fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat”. Sayang, meski wajib, fasilitas ini hanya dikategorikan perlengkapan jalan, bukan sebagai jalan itu sendiri atau fasilitas utama dan bukan jalan untuk pejalan kaki.

 Moda Transportasi yang Terlupakan 

Berjalan kaki adalah tipikal moda transpor yang terabaikan dalam sistem transportasi dan teknik jalan. Hampir semua orang cenderung menerima kenyataan bahwa jalan dan sarana prasarana yang ada diperuntukkan bagi kendaraan bermotor. Termasuk standar, ketentuan dan peraturan, sebagian besar dibuat untuk mengakomodasi  permasalahan lalu lintas kendaraan bermotor. Akibatnya lingkungan jalan bagi pejalan kaki menjadi sangat buruk dan berada di bawah standar.  “Walking is typically the forgotten mode and consequently low standard walking environments are everywhere” . Tak heran bila lingkungan jalan bagi pejalan kaki kini sangat buruk, tak dapat dinikmati dan membahayakan keselamatan. Misalnya, ketidaktersediaan trotoar memaksa pejalan kaki berjalan di badan jalan dan berkompetisi dengan kenderaan bermotor yang superior. Fasilitas penyeberangan yang sangat minim membuat pejalan kaki terpaksa menyeberang pada sembarang tempat dengan hanya mengandalkan kehati-hatian, tanpa perlindungan dan tanpa kepastian hak menyeberang. Keadaan pejalan kaki makin diperburuk oleh volume lalu lintas yang padat, kebisingan akibat deru mesin dan produksi asap knalpot yang mengandung carbon dan berbagai partikel berbahaya lainnya. Tanpa disadari semua ini harus dialami oleh pejalan kaki. Maka, di daerah tropis yang bersuhu 30-35 derajat Celcius, dengan kondisi lingkungan jalan yang  tak ‘ramah’ dan legal position yang sangat lemah, rasanya mustahil membujuk orang berjalan kaki. Hampir tidak mungkin menikmati jalan raya yang ada sekarang dengan berjalan kaki. Satu-satunya cara untuk menikmati berjalan kaki adalah pergi keluar kota atau ke daerah yang sepi dan berpemandangan indah yang tak dilalui kendaraan bermotor. Dalam banyak literatur transportasi, khususnya yang berkaitan dengan topik pejalan kaki, kenyamanan dan keselamatan merupakan faktor paling penting yang diinginkan oleh pejalan kaki. Berbagai penelitian tentang transportasi dan pejalan kaki menyimpulkan bahwa persepsi pengguna jalan terhadap lingkungan pejalan kaki dipengaruhi daya tarik estetik dan variasi kegiatan di sepanjang jalan. Faktor estetika seperti lanskap, bunga-bunga dan pepohonan, peneduh, desain gedung (termasuk warna dan arsitekturnya), kepadatan arus lalu lintas dan faktor keselamatan berkorelasi positif terhadap jumlah pejalan kaki dan panjang jarak yang ditempuh. Meski semua orang sepakat jalan dan lalu lintasnya merupakan urat nadi kehidupan, tetapi kenyataannya pemerintah cenderung berinvestasi terbatas terhadap lingkungan jalan dan kebutuhan pejalan kaki. Konsentrasi perencanaan transportasi dan teknik jalan sebagian besar diarahkan pada lalu lintas kenderaan bermotor. Akibatnya, berbagai masalah terus menerus muncul dan harus dihadapi para pejalan kaki. Lebih dari 80 persen pengguna jalan menyatakan tak suka dan tak menikmati suasana jalan (Sinnet, 2011). Sebagian besar orang sangat tergantung pada atau terpaksa memiliki kendaraan bermotor (pribadi) agar dapat beraktivitas. Semangat sosial terkikis habis karena dibiasakan egoisme di jalan raya. Dalam bekerja sehari-hari, kreatifitas terus menurun karena kelelahan. Pada akhirnya turut merendahkan kualitas kehidupan secara menyeluruh. Dampak lainnya, daerah pinggiran kota dan masyarakatnya mengalami tekanan besar sebagai konsekuensi pembangunan infrastruktur perkotaan yang tak ramah bagi manusia dan lingkungan. 

Mungkinkah Mengembalikan Estetika Lingkungan kepada Pejalan Kaki? 

Persoalan buruknya lingkungan jalan bagi pejalan kaki dialami kota-kota besar di seluruh dunia, terutama pada masa-masa dimana industry kendaraan bermotor menjadi idola dan dianggap sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi utama. Hal ini tidak sepenuhnya benar, berbagai penelitian-penelitian terbaru di bidang transportasi, khususnya yang berkaian dengan keselamatan (safety), sustainability, dan lingkungan, menyimpulkan bahwa investasi terhadap infrastruktur dan lingkungan bagi bagi pejalan kaki dapat memicu secara langsung pergerakan ekonomi yang signifikan pada suatu kawasan. Semakin baik lingkungan pejalan kaki, semakin banyak jumlah orang yang berjalan kaki dan semakin baik kualitas kehidupan di sekitar kawasan tersebut. Investments in the walking environment could lead directly to higher walking levels and pedestrian numbers, and can also create better places for the users of the urban environment. Atribut-atribut yang mempengaruhi keputusan orang untuk berjalan kaki antara lain: (1) rute pejalan kaki harus menghubungkan langsung antara titik asal dan titik tujuan, (2) jaringan jalan bagi pejalan kaki tersedia ke seluruh tujuan, (3) keselamatan dan keamanan pejalan harus dapat dirasakan pejalan kaki, (4) kualitas estetika lingkungan jalan yang baik dan nyaman. Bebas dari polusi asap knalpot, debu, graffiti, tempelan-tempelan pamflet, sampah dan bau tak sedap serta benda-benda atau situasi lain yang mengganggu kenyamanan dan menurunkan kualitas lingkungan jalan. Atribut ini mengesampingkan jarak tempuh antara lokasi asal dan lokasi tujuan dengan asumsi bahwa lokasi yang terlalu jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki, akan ditempuh dengan angkutan umum. Perjalanan selama 20 menit berjalan kaki akan terasa panjang dan melelahkan bila jalan yang dilalui memiliki kualitas lingkungan jalan yang sangat buruk. Sebaliknya, jarak yang cukup jauh akan terasa menyenangkan bila rute yang dilewati diperkaya kualitas lingkungan yang baik. Berbagai referensi dan contoh dapat dipelajari untuk memperbaiki kondisi lingkungan pejalan kaki kini. Di Singapura, jembatan penyeberangan khusus pejalan kaki yang menghubungkan Marina Centre dan Marina South. Jembatan ini disebut “World’s First Double Helix Pedestrian Bridge” dibangun bagi khusus pejalan kaki sepanjang 280 meter. Jembatan yang bentuknya terinspirasi susunan DNA manusia ini jadi penutup dari 3,5 Km jalur pejalan kaki di sekitar Marina Bay. Di Nottingham, Inggris, kawasan Maid Marian Way yang terkenal sebagai “Britain Worst Street” telah diubah dengan investasi pada bidang infrastruktur pejalan kaki. Investasi ini terbukti diikuti peningkatan secara signifikan jumlah pejalan kaki dan aktivitas ekonomi. Beberapa hal penting yang dilakukan pada jalur pejalan kaki adalah: (1) penataan bangunan sepanjang rute. Bangunan yang terawat dan bernilai arsitektur tinggi serta serasi dengan lingkungan sekitarnya akan menarik minat orang jalan kaki, (2) keberadaan bunga-bunga dan pepohonan yang jadi peneduh dan penyejuk serta daya tarik alami bagi pejalan kaki, (3) ketersediaan fasilitas penunjang bagi pejalan kaki seperti tempat duduk, shelter, halte angkutan umum, rambu (khusus pejalan kaki) dan toilet, (4) jenis aktivfitas dan atraksi di sepanjang rute pejalan kaki, misalnya keberadaan tempat bersua, panggung dan tempat bermain anak-anak dan remaja, (5) manajemen lalu lintas dan area lokal yang menunjang aktivitas pejalan kaki. Rute yang terbebas dari polusi udara, suara dan bau serta berkualitas keselamatan yang tinggi. Akhirnya, selamat datang kembali para pejalan kaki, di jalan-jalan dan di kawasan-kawasan  yang (seharusnya sudah sejak dulu) menjadi miliki para pejalan kaki, bukan milik pengguna kendaraan bermotor.*** 

Dr. Aswin A. Siregar, M.Sc(Eng)

Ph.D in Transport Safety, M.Sc.(Eng) in Transport planning and engineering, University of Leeds, United Kingdom

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun