Gencarnya pembangunan yang dilakukan pemerintah saat ini menjadi topik yang sangat menarik untuk disorot. Di era keterbukaan seperti sekarang masyarakat dapat dengan mudah memantau dan merespon progress pembangunan melalui pemberitaan dari media manapun yang tersedia. Informasi mengenai pembangunan yang sangat progresif tersebut, tidak dapat dipungkiri, sangat bermanfaat dalam kaitannya meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan membantu pasar untuk mempersiapkan hal-hal yang diperlukan setelah manfaat dari pembangunan dituai.
Terlepas dari mainstream mengenai liputan pembangunan pemerintah yang luar biasa, pemberitaan-pemberitaan yang dikategorikan developmentalis tersebut seharusnya diimbangi dengan pemberitaan lain yang environmentalis. Pernyataan ini rasanya tidak berlebihan, karena "berita yang berimbang" adalah salah satu poin dalam etika jurnalistik. Kegiatan pembangunan perekonomian di manapun akan menghasilkan dampak lingkungan yang dipastikan mempengaruhi masyarakat dan biota lain di lingkungan tersebut, yang tidak jarang mengakibatkan para penghuni asli terkorbankan.Â
Media pemberitaan sebagai salah satu ruang bagi para penghuni ini untuk berbicara, seringnya sudah kehabisan tempat sehingga aspirasi mereka tidak tersalurkan di tengah pembangunan yang terus berjalan. Bisa dikatakan ada garis pembatas yang menghambat pemberitaan mengenai lingkungan menjadi trending di khalayak umum, sebagaimana berita mengenai pembangunan yang tidak pernah habis menjadi bahasan orang-orang.
Kerja pembangunan pemerintah saat ini dalam mendongkrak ekonomi memang sangat hebat dan serius. Baru-baru ini, Presiden menyentil beberapa kementerian yang dianggap kurang ramah terhadap pebisnis. Kemudahan berbisnis di Indonesia sedang dipromosikan demi menarik investor yang diharapkan nantinya membantu memperluas lapangan pekerjaan untuk masyarakat. Ini artinya, dengan skema ini, dalam beberapa tahun ke depan perubahan masif akan terjadi pada aktivitas perekonomian Indonesia.Â
Bila ditinjau dari sisi lingkungan, perkembangan ini bisa malah menjadi bumerang bagi masyarakat ekonomi dengan dampak lingkungan yang tidak bisa dihindari jika sistem pengelolaan lingkungan tidak ikut dikembangkan. Dan lagi, semakin tidak sulit mencari contoh ekosistem yang dikorbankan dengan alasan memajukan perekonomian warga sekitar.
Penulis tidak sedang berusaha menimbulkan pemikiran bahwa pembangunan adalah hal yang negatif untuk lingkungan. Yang perlu dipahami adalah, kegiatan pembangunan harus dilakukan dengan penuh perencanaan, diimbangi dengan SDM yang ahli dalam pengelolaan lingkungan untuk meminimalisir dampak lingkungan yang terjadi. Namun, regulasi lingkungan yang lemah membuat pemahaman tersebut menjadi tidak mendesak. Selama suatu perusahaan berhasil membantu perekonomian dengan menghasilkan nilai tambah dari sumber daya lokal, kesalahan-kesalahan dalam pengelolaan lingkungan cukup mudah dimaafkan atau paling tidak ditunda vonis hukumannya dengan status "dalam pembinaan".Â
Dengan kondisi ini, mari kita coba menerka efek bumerang yang disebutkan sebelumnya. Katakanlah perusahaan-perusahaan kimia melakukan pencemaran limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari aktivitas produksinya. Pemerintah yang ingin mendorong perekonomian dari sektor ini akan menggenjot jumlah pabrik bahan kimia beserta produksinya, namun tanpa memperbaiki instrumen lingkungan yang menyertainya, jumlah pencemaran limbah B3 yang terjadi juga ikut meningkat bersama dengan meningkatnya perekonomian.
Contoh yang baru saja diberikan adalah contoh yang paling ekstrim pada perindustrian dengan limbah B3. Contoh yang relatif lebih kecil dapat ditemui pada pembangunan-pembangunan infrastruktur dan penambangan dengan dampaknya pada masyarakat sekitar. Intinya adalah kemudahan dalam melakukan aktivitas ekonomi yang tidak terkontrol dari segi lingkungan akan sangat berbahaya, namun kemudahan tersebut sudah menjadi sebuah tradisionalisme yang susah ditinggalkan, bahkan menjadi tuntutan.Â
Di sinilah jurnalisme lingkungan seharusnya berperan dengan pemberitaan-pemberitaannya yang mengimbangi dan mengawal pembangunan, menuntut para pelaku pembangunan memaksa ahli manajemen lingkungan mereka bekerja keras meminimalisir dampak. Jurnalisme lingkungan juga menjadi jalan untuk mengedukasi masyarakat, dan menjadi media advokasi dan partisipasi masyarakat mengkritisi regulasi pemerintah.
Tradisionalisme, yang membuat keberadaan garis pembatas keberimbangan jurnalisme developmentalis dan environmentalis terlihat normal, harus dihilangkan. Jurnalisme pembangunan dan lingkungan harus berimbang. Pembangunan ekonomi yang sangat menjanjikan kesempatan untuk menjadi lebih sejahtera harus selalu dikritisi segala konsekuensinya. Jangan sampai segala persiapan untuk menjadi lebih maju, melupakan perencanaan lingkungan yang nantinya menjadi bom waktu akibat euforia berlebih pada pemberitaan pembangunan yang gencar.
Jaya terus jurnalisme Indonesia!
*Penulis terinspirasi dari tulisan Bp. Triyono L. berjudul "Kematian Jurnalisme Lingkungan", yang pernah diterbitkan di Suara Pembaharuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H