Semalaman menyusuri Kota Makassar dalam rinai hujan. Awal tahun 2014, sampai akhir pekan ini, suasana libur masih terasa. Di jalan masih lengang, dan di mall-mall, yang terlihat agak ramai dari biasanya. Utamanya di tempat konkow-konkow: kedai kopi dan warung makan. Di Pantai Losari, yang kini dilengkapi dengan Anjungan Toraja dan Mandar. Menggenapi empat suku besar di jazirah selatan Sulawesi. Tidak jauh dari anjungan ini, saya melihat ada halte bis yang dibangun. Dilihat dari kemiripannya, halte bis ini seperti halte busway yang kerap kita lihat di Jakarta. Melanjutkan pengamatan saya dari satu pekan terakhir, nampaknya ini adalah kelanjutan dari lajur-lajur bis yang sudah dibuat di beberapa jalan di kota ini. Memang benar, Februari 2014, akan dibuat ujicoba bis kota. Saya tidak berani mengatakan busway, karena lajur bis yang dibuat pemda kota tidak setegas busway-nya Pak Jokowi. Pak Ilhaw walikota Makassar hanya membuat garis-garis meras dan kata -kata BUS KOTA pada beberapa persimpangan jalan. Bis kota adalah oase yang dirindukan pada kegersangan kesemrawutan lalu lintas di Makassar saat-saat ini. Lalu lintas sudah berjalan dengan adatnya sendiri, bukan dengan aturan baku berlalu lintas. Jangan bilang tentang etika lalu lintas, aturan dasar di jalan raya saja tidak lagi ditaati. Dalam diskusi maya beberapa hari lalu, warga kota masih banyak yang masih pesimis akan rencana bis kota ini. Akankah menjadi alternatif transportasi yang nyaman dan handal? Apalagi ditengarai, sistem bis kota ala damri akan masih dipakai (walaupun di-make up dikit dengan kata busway). Bis yang seingat saya sempat menjadi idaman warga, namun karena tidak dirawat, akhirnya kusam, sering ngadat di jalan, berhenti bukan di haltenya, dan jauh dari on-time pada jadwal. Kini tranportasi umum hanya mengandalkan pete-pete, sejenis angkot dengan jumlah penumpah hingga sepuluh orang. Nasibnya kini hampir sama. Tidak nyaman, kadang kurang aman karena sering dicopet atau malah dipalak orang, dan jangan berharap bisa pelayanannya tepat waktu. Apalagi di jaman macet sekarang ini. Akhirnya, cerita transportasi umum berujung pada migrasinya orang menggunakan motor roda dua. Jenis kendaraan yang jumlahnya menyemut jika berpapasan di perempatan jalan. Yang kadang, jika macet, berani melawan arus, atau kadang menyalip truk besar dengan keberanian seakan nyawanya disiapkan Tuhan lebih dari satu nyawa. Yang punya mobil juga mirip kelakuannya. Parkir sembarangan, dan dipersimpangan kadang tidak mau mengalah untuk bersabar mengantri kemacetan. Mungkin berkendaraan di kota ini, setiap hari kita akan mengeluarkan sumpah serapah jika tidak bersabar. Dalam pesimisme warga, yang merupakan hal lumrah ketika politisi banyak membual, tentunya optimisme harus tetap ada. Paling tidak mimpi akan tranportasi umum yang nyaman dan handal bisa sedikit terkuak menjadi kenyataan. Dalam kota-kota yang kira-kira kelasnya sekelas Makassar, ada tiga kota yang pernah saya tinggal cukup lama. Adelaide di Australia, selama dua tahun. Fukuoka jepang selama 3 tahun dan Edmonton Kanada selama tiga bulan. Nah saya ingin berbagi sedikit tentang transportasi umum yang sempat saya nikmati di tiga kota ini. Harapannya bisa berbagi mimpi kira-kira bis kota yang baik dan benar itu bagaimana. Adelaide memiliki penduduk 1,2 juta jiwa. Dalam pengamatan saya, kota ini memiliki tata ruang terbaik dibandingkan Fukuoka. Mirip dengan Edmonton, tapi lebih rapi, bersih dan lebih hidup suasananya . Pusat kota atau downtown tidaklah besar. Jika berjalan kaki, mungkin satu jam saja kita sudah mengelilingi pusat kota. DI sekeliling pusat kota terdapat taman dan lapangan-lapangan. Setelah itu, menyebarlah suburb atau kecamatan-kecamatan dimana pusat sub-urb memiliki fasilitas yang standar seperti mall, klinik, tempat olahraga, sekolah, restaurant, dsb. Jadi warga tidak perlu jauh berkomuter ke pusat kota jika hanya ingin menikmati fasilitas tersebut. Jalur bis disiapkan pemerintah kota walaupun yang menanganinya semacam perusahaan swasta. Namun hanya ada 2 perusahaan swasta yang ditunjuk. Memang kesannya ada monopoli tapi ini demi pengaturan agar pelayanannya bisa standar. Â Jalur-jalur bis menghubungkan pusat kota dengan pusat kecamatan. Â Dan jalur ini hampir semuanya melintasi jalan-jalan hingga pemukiman sekelas kelurahan. Saya menggunakan bis kota tidak sering, karena untuk kebutuhan sehari-hari seperti berbelanja, atau makan di restaurant cukup berjalan kaki lima menit ke shopping centre. Paling naik bis jika hanya ke kampus atau ke pusat kota untuk jalan-jalan akhir pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H