Mohon tunggu...
Deng Tawang Jr
Deng Tawang Jr Mohon Tunggu... profesional -

membaca, merenung, dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Mengapa Posdoct?

18 Januari 2016   13:20 Diperbarui: 18 Januari 2016   13:20 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kali ini, pengen fokus kepada betapa melimpahnya dosen yg bergelar doktor di Indonesia dalam lima tahun belakangan ini, bahkan masih banyak lagi dalam 5 tahun ke depan. The point is, sering kali kita dipaksa utk memahami bahwa doktor adalah fase terakhir dalam pencapaian akademik seseorang. Betul.., gelar strata terakhir dalam kesarjanaan. Namun, being phd dedree holder adalah fase awal dalam perjalanan panjang kita sebagai akademisi. Ibarat SIM, menjadi doktor itu adalah licence yg diakui negara utk menjelajahi alam hutan ketidaktahuan yang serba memukau dan membuat penasaran. Dalam kuliah umum di Kyushu University, seorang Nobel Laurate bidang kimia, mengemukakan filosofi meneliti itu ibarat membuka hutan yang masih perawan, semakin masuk, menjelajah, semakin penasaran kita dibuatnya. Jadi menjadi doktor, ibarat kita baru diberi kapak, dan kapak itu akan tumpul jika tidak digunakan utk membuka hutan pengetahuan yang masih baru.

Yang kedua, setelah menjadi doktor, seiring kembali pulang ke tanah air, masuk kampus kembali. Hal yang juga agak dipaksakan ke pemahaman kita, adalah doktor muda menunggu tour of duty di bidang administrasi plus terlibat manajemen birokrasi kampus. Doktor muda adalah mereka yang siap menjadi "pejabat kampus" dan harus memulai tour dari kepanitiaan sana-sini. Memang betul, itu adalah bagian kontribusi kita ke lembaga, tapi bukan tugas asasi kita sebagai akademisi. Alhamdulillah, sekembali dari jepang, sempat "menjabat" sekretaris kemahasiswaan dan memberi kontribusi transisi/restorasi alam kemahasiswaan di Fak teknik. Namun menjadi terlalu dalam posisi ini (dua tahun), seakan menjadi pakem bahwa itu bagian dari tour of position. Tapi anyway, sy anggap saja kontribusi dan itu wajib selalu kita punya ide dan mau bekerja. Namun, kelamaan membuat sy lupa membuka hutan pengetahuan yang perawan itu. Sesekali dapat grant penelitian dengan tema yg lanjutan dari PhD kemaren (Postdoc dan penelitian unggulan), namun kedalaman metode (at least pengembangan ) dan waktu untuk fokus terasa sulit, apalagi dalam posisi yang sama harus bekerja di kepanitiaan, dan memberi kuliah, serta tugas luar lainnya. Tawaran pekerjaan dari luar juga ada beberapa dan itu menyita waktu. Membimbing mahasiswa S3 juga belum dimungkinkan karena umumnya dosen muda itu Lektor, konon harus lektor kepala utk bs memberi bimbingan.

Nah, kembali ke judul awal, kita perlu waktu yang intensif utk mendalami tema penelitian doktoral. Kita perlu waktu yang agak panjang utk bisa masuk memberi kontribusi yang maksimal di bidang kita, minimal nama kita dikenal sebagai young fellow di asosiasi nasional maupun international. Jika DIKTI meng-encouriage publikasi jurnal berindeks bagus, itu membutuhkan kerja yang intensif dan dalam kesabaran yang luar biasa. Tidak akan bisa efektif jika keseharian kita harus disangkutpautkan dengan kegiatan kita yang lain. Unless, kita membimbing mahasiswa S2-S3 dengan sangat baiknya, dan dosen muda diberi kepercayaan utk menetapkan topik yang diteliti. Namun terkadang karena alasan pangkat/fungsional, pembimbing pertama sulit didapatkan dan amat jarang untuk menentukan topik sendiri.

Olehnya itu, tidak ada pilihan yang cocok utk kondisi, kecuali mendapatkan "short term" postdoctoral, atau semacam study leave selama masa pendek (1-3 bulan). Kita butuh jeda sejenak utk kembali menapaktilasi hutan pengetahuan yang perawan itu, kalo ada yang menarik utk menandaskan rasa dahaga kita. Dosen muda harus diberi giliran utk study leave dengan harapan SIM peneliti-nya betul2 digunakan, tidak lantas ditaruh di laci meja birokrasi kampus. Harapan DIKTI utk mendongkrak publikasi jurnal kita bisa diharapkan dari banyaknya peneliti muda yang study leave ke Universitas luar negeri yg memang strong di bidang tertentu utk ikut berpartisipasi dalam diskusi intens dengan professor yang namanya memang dikenal di asosiasi, menggunakan alat lab yang mutakhir, membaca jurnal2 di perpustakaan mereka, menggunakan superkomputer utk komputer modeling, melihat sistem pengelolaan kelas, manajemen pengajaran mereka, hingga bersantai dalam sebuah gaya hidup akademisi yang sangat well-deeply academic discussion dengan kolega.

Sudah bukan rahasia, perguruan tinggi jepang, mewajibkan dosen mudanya utk postdoc atau recharging setahun di perguruan tinggi Ivy-League Amerika Serikat. Tentu dosen mudanya, tidak sekedar hanya numpang lewat, dan kebanyakan waktu terlihat di tempat plesiran ..hehehe.. Tapi tentu ada produk yang ditagih, apakah selepas postdoc, berapa publikasi yang ditawarkan, manuscript buku, jurnal, atau gagasan baru metode perkuliahan, atau pengelolaan laboratorium, atau bahkan alat laboratorium yang mutakhir, metode yang baru, atau topic penelitian yang lagi nge-trend. Ini semuanya hanya bisa dilakukan jika kita memiliki jeda akademik dan itu hanya bisa melalui study leave atau sabbatical leave, atau postdoc.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun