Mohon tunggu...
Deng Tawang Jr
Deng Tawang Jr Mohon Tunggu... profesional -

membaca, merenung, dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Gempa Nepal: Mengapa sangat Destruktif?

10 Agustus 2015   15:46 Diperbarui: 10 Agustus 2015   15:46 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Cerita menarik pada kejadian gempa di Nepal belum berakhir. Dalam banyak hal, peristiwa  25 April 2015, ini telah menelan korban jiwa lebih dari 9000 jiwa dengan total kerugian sangat besar, dimana beberapa situs sejarah dalam lindungan UNESCO mengalami kerusakan hebat. Tidak dapat dipungkiri, bahwa gempa ini mencapai skala kerusakan hebat (MMI IX), bangunan yang tidak didesain tahan gempa akan kolaps. Hanya dua level lagi (MMI XI) untuk mencapai katastrofik, tidak ada bangunan tersisa, termasuk yang tahan gempa sekalipun. Namun pertanyaannya adalah mengapa level kerusakannya sebegitu besar?

Beberapa faktor menunjukkan bahwa data gempa yang terjadi sepanjang sejarah perekaman gempa dimulai, kawasan Himalaya merupakan daerah tektonik aktif. Tentu karena terletak pada sabuk pertemuan lempeng India yang menunjam Eurasia. Sejarah gempa besar yg sempat tercatat itu, 1255, 1408, 1681, 1803, 1810, 1833, dan 1864, dan yang terakhir 1934 dengan skala 8.1 SR dan MMI X. Ini gempa pada daerah lembah Kathmandu, ibukota Nepal. Secara umum, daerah Himalaya pernah mengalami gempa besar tahun 1897, 1905, 1934, dan 1950. Kalau kita menggabungkan data ini dan memplot pada daerah sabuk subduksi Himalaya. Maka sangat jelas bahwa, daerah yang mengalami gempa tahun 2015 merupakan daerah "seismic gap". Maksudnya, ada energi yang terkunci, yang seharusnya terlepas mengikuti besarnya pergumulan subduksi antara dua lempeng aktif ini. Gempa 2015 merupakan pelepasan energi pada "daerah antara" Kangra yg gempa 1905 dan Nepal Bihar gempa tahun 1934. Sementara itu, hitung-hitungannya gempa dengan skala lebih dari 8 SR terjadi kira-kira setiap 100 thn. Demikian analisa para ahli dari tim JICA (2002) sudah memperingatkan bahwa periode gempa besar kemungkinan besar sudah dekat ketika itu dalam laporan tahun 2002. 

Hal yang patut dicatat lainnya adalah pengaruh perbesaran gempa karena amplifikasi karena faktor tanah. Logika sederhananya, tanah yang lunak akan mudah bergerak ketimbang tanah yang kaku. Makin lunak tanah di atas batuan dasar yang terkena gelombang gempa, maka makin teramplifikasi gelombang ini menjadi getaran hebat dipermukaan. Lembah Kathmandu dulunya adalah danau purba. Yang kemudian menjadi lembah karena sedimentasi batuan pada pegunungan di sekitarnya pada masa Pleistocene hingga recent. Tanah sedimen ini setebal kira-kira 550 - 650 meter, tersusun dari paling atas ke paling bawah dari lempung, lanau, pasir dan kerikil. Tebal sedimen ini bervariasi, dan jenis tanahnya tidak teratur. Sehingga, gempa terjadi akan sangat beragam resonansinya oleh sedimen ini. 

Di Kota Kathmandu sendiri, penelitian tahun 2012 menyebutkan bahwa jenis sediment di bagian tengah dan utara sangat bervariasi. Ini dikarenakan karena tipe sedimen di daerah ini adalah tipe fluvial - deltaic sedimen, terbentuk dari bawaan sungai-sungai besar berhulu di Himalaya dan membentuk delta. Sementara daerah lainnya adalah lacustrine sediment, hasil erosi yang tenang dari danau purba tadi. Bagian utara inilah memiliki tingkat resonansi gempa oleh tanah bisa memiliki dua kali getaran puncak, yang normalnya biasanya satu puncak gelombang. Jadi bisa disimpulkan, jika gempa kuat terjadipada batuan dasar, sedimen bagian utara Kathmandu akan memperbesar getaran gempa. Kaitannya dengan bangunan adalah makin tinggi suatu bangunan maka makin cepat bangunan itu mengikuti ayunan gempa dari tanah di pondasinya. Frekuensi goyangan gedung di Kathmandu berkisar antara 1 - 10 Hz, umumnya bangunan hingga 10 lantai saja. Namun, goyangan tanah nya hampir sama, dengan frekuensi antara 0,5 - 8,9 Hz pada resonansi pertama, dan resonansi kedua 4 - 6 Hz. Jika frekuensi goyangan pada tanah sama dengan bangunan, maka vibrasi bangunan akan tinggi, dengan resiko runtuh yang tinggi. Apalagi tidak didesain khusus tahan gempa, tentu semakin mudah runtuh.

Apa yang bisa dijadikan pelajaran untuk kita di Indonesia adalah, beberapa kota besar berada di daerah sedimentasi sungai. Meskipun kota-kota tersebut cukup jauh dari daerah patahan aktif, namun perlu lah dikaji seberapa besar bahaya dan resikonya di karenakan ada kemungkinan amplifikasi gempa dan tentu likuifaksi yang mengikutinya. 

Wallahu a'lam bisshawab

 

 

*sumber: Paudyal, dkk (2012). A study of local amplification effect of soil layers on ground motion in the Kathmandu Valley using Microtremor analysis. Journal Earthquake Eng and Engineering Vibration.Vol.11. pp. 257-268.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun