Kondisi kedua, munculnya respon antipati dari Bupati Kabupaten Alor terhadap opini hasil pemeriksaan. Bupati merasa tidak puas dengan opini yang diberikan oleh pemeriksa pada pemeriksaan laporan keuangan mereka.
Ketidakpuasan tersebut memicu tindakan yang cukup kontroversial dari bupati, dengan meminta BPK RI seharusnya memberikan jenis opini terburuk bagi Pemerintah Kabupaten Alor, padahal nyatanya BPK RI telah memberikan jenis opini yang mencitrakan kondisi pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah yang cukup baik, yaitu WDP.
Kesenjangan Harapan Audit (Audit Expectation Gap) Dalam Pemeriksaan Keuangan Kabupaten Alor
Mengapa kondisi paradoksal diatas dapat muncul dalam sebuah pemeriksaan keuangan. Dalam ranah riset pemeriksaan, ada sebuah istilah yang dikenal dengan “kesenjangan harapan audit (audit expectation gap)”, yaitu sebuah situasi dimana adanya perbedaan persepsi yang timbul diantara pemeriksa dan pengguna laporan pemeriksaaan terkait dengan tingkat kinerja yang diharapkan dari pemeriksa.
Umumnya pengguna laporan hasil pemeriksaan menghendaki batasan tanggung jawab pemeriksa lebih dari sekedar memberikan keyakinan yang memadai atas kewajaran laporan keuangan yang diperiksa. Selain itu, pengguna laporan keuangan juga menginginkan kehati-hatian pemeriksa dalam menerbitkan opini atas laporan keuangan yang diperiksa.
Sementara disisi lain, pemeriksa dalam menjalankan tugas pemeriksaan, sudah di ikat dalam standar pemeriksaan keuangan yang sudah baku.
Dalam standar dimaksud, sudah diatur dengan jelas, apa yang menjadi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan pemeriksaan. BPK RI dalam melaksanakan pemeriksaannya, merujuk kepada Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).
Dalam konstruksi peristiwa diatas, Bupati Kabupaten Alor sebagai pihak yang diperiksa, dan yang bertanggungjawab atas informasi hal pokok dalam pemeriksaan, kemungkinan memiliki ekspektasi yang sangat tinggi terhadap kinerja yang diharapkan dari pemeriksa, yang ternyata disisi lain tidak bisa terpenuhi melalui opini yang diterbitkan pemeriksa.
Kondisi ini sebenarnya, bisa saja tidak terjadi, apabila terbangun komunikasi yang efisien dan efektif pada seluruh proses pemeriksaan.
Sesuai dengan Standar Umum dalam Pernyataan Standar Pemeriksaan 100 SPKN, pemeriksa wajib membangun komunikasi yang baik dalam seluruh proses pemeriksaan.
Hal ini dilakukan agar proses pemeriksaan berjalan lancar dan hasil pemeriksaan dapat dimengerti serta ditindaklanjuti oleh pihak yang bertanggung jawab dan pemangku kepentingan terkait.