Tragedi Kanjuruhan merupakan peristiwa yang dapat dikatakan sebagai bencana olahraga terparah di Indonesia, bahkan di dunia dengan korban jiwa sebesar 131 orang, dintaranya 35 merupakan anak-anak berdasarkan data terakhir. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Sabtu tanggal satu Oktober malam ketika Arema FC bertanding melawan Persebaya yang menghasilkan skor 2-3 dengan kemenangan dipegang oleh Persebaya. Tragedi Kanjuruhan terjadi pada dasarnya disebabkan oleh budaya olahraga khususnya sepakbola di Indonesia yang sangat kental euforianya yang membuat banyak suporter-suporter fanatik kerap melakukan aksi yang bertentangan dengan hukum seperti turun ke lapangan, aksi tersebut juga didorong oleh rasa rivalitas yang berlebihan diantara Arema FC dengan Persebaya Surabaya. Dalam menyikapi hal tersebut, sayangnya pihak keamanan khususnya Polisi juga tidak menerapkan aksi yang tepat yang lantas berakibat pada jatuhnya ratusan korban jiwa. Begitu banyaknya korban jiwa yang berjatuhan sebenarnya lebih disebabkan oleh aksi polisi yang tidak tepat yakni menembakkan gas air mata di dalam stadion dengan tujuan untuk menenangkan dan membubarkan suporter fanatik yang turun ke lapangan akibat tidak terima dengan hasil pertandingan. Penembakan gas air mata tersebut memang terbukti sangat fatal sebab meski berhasil menghalau para kelompok yang turun ke lapangan pertandingan, gas air mata tersebut juga memicu kepanikan kepada seluruh penonton pertandingan yang membuat mereka berebut dan berdesakan untuk mencari jalan keluar, namun sayangnya jalan keluar dari tribun-tribun yang ada tidak terlalu besar yang membuat banyak yang terdorong dan terhimpit, hingga terinjak-injak oleh paniknya massa yang ingin melewati pintu yang sempit. Kondisi tersebut diperparah oleh banyak diantara mereka yang kehilangan oksigen dan kesulitan untuk bernapas akibat gas air mata yang ditembakan oleh polisi. Sebenarnya kepolisian telah merekomendasikan kepada pihak penyelenggara pertandingan agar pertandingan dimajukan menjadi pada pukul 15.30 WIB dengan alasan keamanan namun PT Liga Indonesia Baru tetap bersikeras agar pertandingan digelar sesuai jadwal yakni pada pukul 20.00 WIB malam hari dengan alasan perlu membayar ganti rugi jika pertandingan dilaksanakan diluar jam yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tragedi Kanjuruhan juga seharusnya menjadi pukulan keras bagi pemerintah Indonesia yang bertanggung jawab atas beberapa aspek, mulai dari koordinasi dan sosialisasi penyelenggaraan pertandingan-pertandingan di Indonesia melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga yang kemudian diteruskan kepada lembaga-lembaga terkait seperti PSSI dan pihak penyelenggara pertandingan lainnya seperti Liga Indonesia Baru, dan lain sebagainya. Namun kritikan kepada pemerintah lebih difokuskan pada tanggung jawab pemerintah dalam mengarahkan institusi formalnya yakni kepolisian dalam bertindak secara "pantas" dalam sebuah pertandingan dimana berbagai faktor sudah seharusnya dipertimbangkan secara matang seperti mulai dari budaya suporter sepakbola di Indonesia hingga denah-denah pertandingannya. Koordinasi yang intens diantara berbagai lembaga terkait seperti kementerian pemuda dan olahraga serta kepolisian sudah seharusnya dilakukan, dimana wujud dari koordinasi tersebut dapat berupa Standard Operating Procedure (SOP) yang juga telah diselaraskan oleh peraturan standar internasional seperti, dalam kasus ini, FIFA sebagai organisasi internasional resmi yang menaungi olahraga sepakbola.
Namun pada realitanya, kasus ini menandakan bahwa pemerintah masih belum profesional dan sigap dalam mengakomodasi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan di dunia olahraga secara optimal, pemerintah baru akan berbenah dan melakukan evaluasi mendalam setelah sebuah tragedi besar seperti ini terjadi padahal seharusnya berkaca dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia seperti kerusuhan Persija vs Persebaya pada tahun 2012, Persija vs Sriwijaya FC pada tahun 2016, dan peristiwa lainnya, pemerintah sudah seharusnya mereformasi kebijakan yang meliputi sosialisasi, SOP, peraturan, dan arahan-arahan teknis lainnya agar setiap tindakan termasuk pengamanan pertandingan dapat dilakukan seefektif mungkin tanpa harus menjatuhkan korban jiwa. Setelah Tragedi Kanjuruhan ini terjadi, pemerintah khususnya pemerintah pusat baru melakukan aksi besar-besaran yang melibatkan kementerian pemuda dan olahraga, pemerintah daerah, PSSI, hingga kepolisian dalam melakukan evaluasi dan reformasi regulasi. Berbagai tindakan juga dilakukan untuk meredam amarah publik seperti mencopot Kapolda Jawa Timur, Kapolres Malang, dan aksi sujud sebagai wujud permintaan maaf yang dilakukan oleh anggota kepolisian Kota Malang, namun semua itu tidak ada yang sepadan dengan hilangnya ratusan nyawa yang sebenarnya dapat dicegah melalui tindakan penanganan yang tepat oleh kepolisian. Ketidaktepatan aksi yang dilakukan oleh kepolisian dapat terlihat melalui tidak adanya upaya dari aparat untuk memberikan peringatan lisan sebelum menembakkan gas air mata yang sebenarnya jika mengacu pada Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan, kepolisian wajib menjalani tahapan-tahapan tertentu sebelum menggunakan gas air mata. Kurang jelasnya SOP dan arahan kepada anggota kepolisian yang bertugas membuat polisi pada akhirnya melakukan tindakan menyimpang seperti mengerahkan kekuatan secara berlebihan seperti tidak hanya menembakan gas air mata ke arah suporter yang hendak terjun ke lapangan namun juga ke arah tribun selatan, timur, dan utara penonton, yang menyebabkan kepanikan luar biasa yang kemudian dibarengi oleh akses jalur evakuasi yang tidak luas yang membuat korban jiwa berjatuhan akibat terinjak dan kekurangan udara. Kondisi tersebut juga diperparah oleh fakta bahwa dari delapan pintu darurat yang ada, hanya dua yang terbuka, itupun dengan kelebaran sebesar 1,5 meter saja dan penjaga yang seharusnya berada di sekitar pintu tidak ditemukan.
Bahkan pada dasarnya, telah diatur melalui Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19, FIFA telah mengatur secara tegas bahwa petugas keamanan stadion termasuk polisi dilarang membawa senjata api termasuk "gas pengendali massa" dalam pertandingan sepakbola. Hal tersebut mengingat pertandingan sepakbola kerap diadakan di stadion yang terbatas ruang geraknya yang meminimalisir ruang gerak massa untuk menghindari gas air mata, tidak seperti saat demonstrasi di jalan yang ruang geraknya jauh lebih luas. Melihat reputasi FIFA sebagai organisasi sepakbola internasional yang kredibilitasnya diakui dunia, maka sudah seharusnya segala bentuk regulasi keamanan dalam setiap pertandingan sepakbola di Indonesia mengadopsi peraturan tersebut, apalagi Presiden Joko Widodo kerap membanggakan Indonesia yang belakangan ini berhasil dipercaya menjadi tuan rumah berbagai acara sepakbola internasional. Hal ini juga menandakan kelemahan kepolisian ketika hingga saat ini SOP yang berlaku belum terintegrasi dengan regulasi FIFA bahkan PSSI. Lebih lanjut, penempatan aparat keamanan seperti polisi dan TNI yang memegang senjata di pertandingan juga dipertanyakan. Kehadiran mereka khususnya polisi mengesankan perlunya pengamanan dengan kekuatan yang signifikan sementara kebanyakan di berbagai negara pengamanan cukup dilakukan oleh para stewards atau pengamanan sipil yang pendekatannya tentu lebih tidak koersif apalagi menggunakan kekerasan dan senjata-senjata pembubar massa yang berbahaya.
Bisa disimpulkan bahwa masih banyak hal yang menjadi "pekerjaan rumah" bagi pemerintah, mulai dari mereformasi institusi-institusi nya seperti kepolisian sebab kasus ini menilai bahwa reformasi kepolisian di Indonesia gagal total, yang dapat dilihat dari ketidakinisiatifan polri dalam meninjau ulang SOP penanganan massa termasuk penggunaan gas air mata. Tugas lain pemerintah juga lebih menaruh perhatian lebih pada dunia olahraga nasional melalui transformasi dan perkembangan regulasi dalam setiap pertandingan, kualitas infrastruktur pertandingan, dan lain sebagainya agar kejadian seperti Tragedi Kanjuruhan ini dapat terjamin tidak akan terulangi kembali. Pada intinya juga, sebenarnya kinerja dari pemerintah melalui institusi-institusinya bisa dikatakan masih jauh dari kata layak sebab semua aksi nyata baru dilaksanakan setelah terjadi bencana besar ketimbang fokus mencegah agar bencana tersebut jangan sampai terjadi.
Editor : Dr. Yusa Djuyandi, S.IP., M.SI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H