Berseberangan pendapat baik lisan maupun tulisan itu wajar adanya. Tiap diri bebas, merdeka juga unik, untuk bersuara. Â Tiap individu mempunyai cara pandang pada satu benda tertentu. Ambil contoh; mungkin saya melihat sebuah mesin tik dari depannya saja, sebagian yang lain melihat dari samping, sebagian lagi hanya melihat tutup mesin tik, dan seterusnya. Kemudian dari hasil penglihatan dan pengamatan itu munculkan tanggapan. Tentu saja akan muncul jawaban beragam. Tergantung seseorang melihat sebuah perkara sesuai dengan fokus minat masing-masing. Benar adanya, dalam tiap perkataan atau penulisan akan banyak mengandung sikap pro dan kontra siapa saja berkaitan satu obyek permasalahan.
Takpelak bersikap kritis dengan menilai sesuatu hal mestilah terjadi. Kalau tidak, kita akan tergolong orang-orang yang menelan bulat-bulat setiap masukan yang ada, tanpa pernah mencerna, menimbang dan memikirkannya dalam-dalam. Kita malah sudah silau dan terkagum-kagum pada orang yang berbicara itu, berhubung berpangkat dan bergelar tinggi. Kita justeru terkesima sejadi-jadinya terhadap nada bicara dan penampilan yang memukau dari sang tokoh, apalagi berasal dari keturunan orang hebat. Dan kita pun menjadi pengagum fanatik pada seseorang yang indah memesona, takpeduli apa yang dilakukannya bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Seperti yang sering terujar, kebenaran yang disampaikan manusia relatif adanya. Tidak mutlak benar. Taklepas dari kekeliruan dan kekurangan, sebagaimana karakteristik manusia sebagai tempat khilaf dan sangatlah lemah. Takada orang yang sempurna, begitu pepatah lama berkata. Manusia jelaslah bukan tuhan, bukan dewa, kecuali pada kisah pewayangan, ada yang setengah manusia, setengahnya lagi dewa. Perpaduan yang unik. Tapi itu takdapat dilepaskan dari segala keterbatasan yang pasti melekat pada diri manusia,siapapun dia, dengan pelbagai macam latarbelakang hidup serta displin ilmu yang ia sedang geluti. Berlaku hukum: belum tentu benar apa yang dikemukakan manusia, baik perkataan maupun perbuatan, sepanjang itu selaras dengan keagungan dan keselarasan alam raya.
Bila saja keraguan dan kepilonan menyelimuti diri, bertanya bisa jadi jalan keluar. Menanyakan sesuatu pada ahlinya. Mencoba mengetahui lebih jauh tentang hal yang sedang kita minati itu. Tumbuh penasaran, tumbuh pula ketertarikan. Â Nalar kita pun terbatas, pengalaman batin kita pun begitu, maka keraguan berharap pecah, taklagi beku. Takseharusnya dikungkungi rasa malu, jengah, atau terperangah melulu. Mulai bertanya, bertanya dan terus bertanya. Awal dari kebingungan pada sebuah kenyataan, lalu kita pun terkesiap untuk mulai berkata-kata, meraih makna, merebut apapun yang harus dihikmati secara bijak.
Selanjutnya, mekanisme kritik menjadi penting. Menciptakan kritik yang membangun, bukan malah menghancurkan dan cenderung uraikan kesalahan tanpa solusi. Barangkali diantara kita dilanda ketakutan untuk mengatakan yang semestinya. Pasti resah memperbincangkan dan menuliskan sebuah response atas kejadian yang terjadi. Khawatir ada pihak-pihak yang menentang. Galau jikalau nanti perseteruan malah memuncak. Cemas bilamana borok masalalu terkuak lagi. Lalu kita pun cari aman dengan tidak mengabarkan dan menuliskan kenyataan yang semestinya. Padahal berbeda pendapat, beragam bunyi suara, jika ditanggapi dengan baik, itu pertanda iklim yang baik untuk terus berdialog. Dengan berbhinekanya opini yang bermunculan diantara kita, menandakan kita semua menggunakan akal pikiran masing- masing. Inilah yang kemudian disebut, kita berdinamika dan berdialektika satu sama lainnya.
Pada tahap berikutnya, jika perlu, kita coba untuk meragukan sesuatu dulu, jangan tergesa untuk memamah setiap pengertian dan pemahaman yang terhampar pada kepala kita. Hal ini dapat dimaknai melalui penyikapan yang positif, tanpa harus mencurigai setiap perkara yang berdatangan. Tanpa pula mencari-cari kesalahan dan kelemahan, sehingga yang muncul malah pembeberan aib dan kebobrokan seseorang, yang sesungguhnya itu semua sangat manusiawi.
Tepatnya, jadi pembaca yang aktif, atau pengamat satu bidang tertentu, dengan menatap satu persoalan, secara gamblang, lugas serta menyeluruh. Upaya pelaziman memberi tanggapan, komentar, ulasan, walau sedikit yang terucap dan tertulis, tapi itu sudah memberikan usaha-usaha yang tepat agar taklagi terjadi penyesatan dan kekeliruan pada produksi-produksi pemahaman jua pengertian. Andaikata kita sudah  merasa cukup atas jawaban dan pendapat yang ada, dan takpernah memunculkan semangat keingintahuan  yang luar dari biasa, maka demikianlah kita termasuk orang-orang kebanyakan. Biasa adanya. Mati pula kinerja kelompok dan individu yang seyogianya menjunjung tinggi pola komunikasi yang tepat dan cermat.
Anda pun pasti pernah saksikan perdebatan itu, dialog itu, perbincangan itu, diskusi itu, dari media tertentu, atau terlibat langsung di dalamnya. Bukankah ucapan kian sengit, perkataan memanas, dan percekcokan takbisa dihentikan, temui jalan buntu, membahas satu soal, sukar jawaban ditemukan. Para ahli sudah bicara sesuai dengan lahan garapannya masing-masing, akan tetapi tetap saja menemui jalan buntu. Contoh; Bagaimana menemukan solusi  yang tepat untuk membuat efek jera pada para perampok uang milik rakyat itu? Ada yang bilang dengan hukuman seberat-beratnya, ada pula yang bilang dengan langsung memberi hukuman mati. Sebab pencuri kelas teri sudah pasti dipenjarakan, entah berapa bulan lamanya, dan sebelumnya itu tubuh pesakitan sudah babak belur dihajar massa, sungguh mengenaskan. Sementara bangsat berdasi di kantor itu hanya dapat hukuman beberapa tahun saja, dengan penjara yang takjauh beda dengan penginapan paling keren di kota Anda.
Tradisi kritik belum berkembang baik di masyarakat kita. Sebab seseorang yang melontarkan kritikannya dianggap nyeleneh, sembarangan, bahkan pembelot, berbeda dari keumuman yang ada. Lantas kena sanksi sosial bagi para pengkritik, sebagai misal, dicemooh, diasingkan, bahkan dipenjarakan. Muatan kritik seseorang pada satu masalah memang berbeda, terpulang pada kadar ilmu pengetahuan dan wawasan, beserta teknik-seni komunikasi. Misal, ada yang lantang dan berani. Ada pula yang tenang, penuh kehati-hatian, dibungkus dengan bahasa  yang apik dan mengena.
Kritik tiap hari bisa saja tertembakkan, dengan segala format dan variasi, dengan segala topik dan solusi yang sebisanya didapat. Tertuju kritik itu pada siapa saja, dari siapa saja untuk keadaan yang apa saja, bisa terjadi. Di koran, televisi, radio dan media-media jejaring sosial lainnya bertebaran kritik, berbunyi ancaman, bersuara teguran, bertuliskan kata-kata makian seperti hendak menelanjangi apa yang tertempel di tubuh obyek kritik itu.Kalau saja kita mau menempatkan diri ini dalam kerangka hidup bermasyarakat, yakinlah, saling mengingatkan, saling meneguhkan, saling menguatkan antar satu sama lain, memang penting. Â Pandangan kita terbatas, daya kemampuan kita pun taksepenuhnya kuat. Lingkungan dan individu yang ada di dalamnya akan diproyeksikan mampu memberikan pendapat dan masukan yang berharga antar sesama. Bukan malah menjatuhkan, dan lebih jauh, malah membunuh satu sama lainnya. Kita pun berlindung dari hal-hal seperti itu.
Parahnya, ketika kita berbeda pendapat, kritik mandek, maka pihak lain yang berseberangan malah menghalau yang beda itu, dalam tataran yang ekstrem bisa melenyapkan nyawa orang yang dianggap lancarkan kritik. Karena ia merasa bahwa kritik bukanlah sesuatu yang sehat, ia memperlakukan kritik sebagai penyakit yang merusak keutuhan dirinya. Akibatnya, yang berseberangan akan berhadapan dengan kekuatan horor yang mengerikan.