Pada suatu sore, Saya pernah menjalani hidup seakan di luar kebiasaan. Saya putuskan untuk menunda perjalanan pulang dari tempat dimana Saya bekerja menuju Kosan.
Apalagi di Kota Bandung, sepanjang jalan A.H Nasution pulang di jam-jam pulang kerja, dimana banyak orang berjibaku menembus kemacetan adalah sesuatu yg menyebalkan.
Ya benar. Sama menyebalkannya dengan gebetan kamu pas udah mulai nyaman malah menghilang tanpa alasan. Aelah
Baiklah, kita kembali ke topik bung! Hidup memanglah butuh JEDA. Seperti jeda untuk menghela nafas, jeda mengedipkan mata atau bahkan jeda untuk melupakan sejenak keributan dan hingar bingar dunia.
Setiap orang punya cara masing-masing menemukan jeda dalam hidupnya. Bukan untuk kabur hingga lupa bagaimana caranya bersyukur. Bukan untuk menghilang hingga lupa bagaimana pulang.
Tapi bagi Saya, jeda adalah tentang berpikir. Berpikir bahwa hidup nggak semuanya berjalan dengan baik. Ada satu kondisi kita butuh jeda untuk mengevaluasi diri.
Dan sore itu, Saya putuskan jeda sejenak hanya enggan menembus macetnya jalanan. Ya benar, Saya niat banget untuk jeda hanya sekadar menemukan senja.
Lokasinya bukan di laut, bukan juga di puncak gunung. Tapi, spot yang paling adem bagi kawula muda Bandung. Caringin Tilu nama daerahnya, CARTIL nama populernya. Lokasi berbukit dengan pemandangan perkebunan sayuran, gemerlap lampu kota dari ketinggian.
Ternyata dugaan Saya benar, tidak hanya gemerlap Bandung yg bisa kita lihat. Namun, ada segaris jingga di Cakrawala yang bisa kita tatap.
Menatapnya membuat saya menemukan makna. Makna bahwa hidup butuh jeda, agar kita bisa menentukan arah hidup hendak kemana.Â
Kita boleh sibuk mengejar dunia. Kita mungkin ambisius mencapai target-target dalam hidup. Tetapi sudahkah kita tahu arah hidup kita hendak kemana?