Di dalam agama Islam, anjing (al-kalb) merupakan salah satu hewan yang bersifat kontradiktif. Selain itu memelihara anjing bagi seorang Muslim terkesan tabu terlebih di Indonesia, hal ini bermula dari status anjing itu sendiri. Di dalam hukum Islam, terkhusus pada bab "thaharah" (bersuci), liur anjing mengandung najis (al-najasah) stadium tinggi (mughaladhah) yang mana jika seorang muslim terkena liurnya maka harus dicuci sebanyak 7 kali dan salah satunya harus memakai tanah untuk mensucikan badannya kembali.
Namun, pada bab perburuan (al-shayd) para "fuqoha" (ahli hukum Islam) menyatakan bahwa anjing terlatih (al-kalb al-mu'allam) yang dilepas dengan nama Allah, maka hasil buruan tersebut halal dimakan walaupun sudah mati. Disinilah titik kontra perihal anjing di dalam hukum Islam.
Pembahasan tentang najis anjing bermula dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menyatakan bahwa wadah atau tepat makan (al-ina') yang dijilat oleh anjing maka wajib dicuci 7 kali salah satunya dengan memakai tanah. Nah, ini menjadi awal mula anjing dihukumi najis oleh para ulama', hingga pada akhirnya sebagian besar umat Islam sangat menjauhi binatang anjing, karena dinilai memiliki tingkat najis yang kronis. Namun, menurut ulama' kontemporer, sebenarnya tidak ada dalil yang menjelaskan najisnya anjing secara umum, hanya dikiaskan dengan jilatan pada wadah atau tempat makan, dengan kata lain hadits yang menjadi dasar tersebut sebenarnya bukan membicarakan tentang najisnya anjing, tapi lebih mengarah ke pesan kebersihan, dengan cara mencucinya berkali-kali salah satunya dengan memakai tanah agar steril, karena zaman dahulu belum terdapat sabun anti-septik.
Lain halnya dengan pembahasan perburuan, bahkan di dalam al-Qur'an diperbolehkan untuk memakan makanan hasil tangkapan atau gigitan anjing (baca al-maidah ayat 4). Dengan demikian, kembali ke judul, bagi seorang Muslim jika ingin mengetahui tentang hukum memelihara anjing lebih baik merujuk ke bab perburuan, bukan bab "thaharah".
Di dalam tinjauan hukum Islam, memelihara anjing yang bukan anjing penggembala atau pemburu maka amal baiknya akan berkurang 1 qirath setiap hari. Berarti jika anjing tersebut memiliki tugas maka tidak menjadi masalah. Tapi kemudian memelihara anjing yang "nganggur" apakah diperbolehkan ? Bagi kalangan Syafiiyah (penganut madzhab syafii) jelas haram. Jadi, memelihara anjing yang terlatih, dididik, dan dengan pertimbangan kesehatan maka sah-sah saja.
Kiat memelihara anjing bagi seorang Muslim :
1.Pastikan kebersihan dan kesehatannya, tidak perlu merujuk pada bab bersuci di dalam kitab fiqh, karena bisa jadi standar kesterilan sudah berbeda, perbandingan zaman dahulu dan sekarang.Â
2.Harus dididik atau dilatih, setidaknya memiliki kemanfaatan.
3.Jika masih khawatir menimbulkan najis lebih baik ditangkar.
4.Pastikan hewan peliharaan bukan dari jual beli, karena menjual dan membeli anjing, kucing, dan sebagainya adalah haram, lebih baik mengadopsi.Â
Sekian dari saya, terima kasih.