Mohon tunggu...
Muhammad Burhanuddin
Muhammad Burhanuddin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

No Matter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jilbab Besar Belum Tentu Syar'i

19 April 2013   07:45 Diperbarui: 10 April 2019   01:01 39316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika mengamati perkembangan mode di tanah air, banyak ditemui berbagai macam model busana yang kian hari kian vulgar. Bukan hanya di lingkup entertainment saja, tetapi juga merambah ke pelosok daerah. Seperti kita lihat celana pendek ketat yang populer disebut “Hotpant”, pada jaman dahulu “Hotpant” hanya dipakai didalam rumah , atau mungkin sebagai pakaian dalam. Tetapi sekarang beralih fungsi menjadi busana pamungkas kaum hawa jika ia ingin disebut trendy, atau seksi. Padahal jika kita mengamati di negara-negara maju, celana Hotpant juga disebut sebagai celana “ala pelacur”, sesuai dengan nama yang dipopulerkan yaitu “Hot-pant” (celana yang merangsang). Nah ! ternyata fenomena semacam ini dianggap sebagai penunjang lahirnya gerakan “Hijab Modis”. Yang mana tujuan utama dari Hijab Modis ini guna mengajak para wanita untuk menutup auratnya dengan balutan yang tetap mempertahankan keindahan dan estetika.

Dalam dunia Hijab Modis tentu kita akrab dengan nama Dian Pelangi seorang desainer muslimah muda yang tidak berlebihan jika dianggap sebagai pencetus dari Hijab Modis ini. Setelah namanya kian melejit di tanah air, sontak wabah Hijab Modis melanda seluruh pelosok negeri hingga berdirilah komunitas hijab modis atau akrab disebut Hijabers Community. Walaupun terkesan ribet, tapi tidak sedikit pengikutnya, di tempat-tempat keramaian seperti mall, kampus, bahkan pasar banyak ditemui wanita berkerudung warna-warni yang tentu sesuai dengan nama pencetusnya, yakni Dian “Pelangi”. Sampai sekarang terhitung mulai tahun 2010, gaya seperti itu masih populer, padahal biasanya model busana hampir setiap tahun mengalami perubahan, tetapi ini justru semakin beragam model dan corak yang dihadirkan oleh para perajin busana.

Bukan mode namanya jika tidak ada saingan, setelah merebaknya gaya hijab beraliran pelangi, muncul lagi gaya hijab yang lebih kalem dengan warna dominan. Tepatnya pada tahun 2013 ini muncul penggemar hijab yang mengatasnamakan dirinya sebagai komunitas Hijab Syar’i. Dari namanya kita sudah bisa menebak apa ambisi dari komunitas ini. Ya ! benar ! komunitas ini bertujuan untuk mengcounter gerakan Hijab sebelumnya yaitu gerakan Hijab Modis, dengan berpendapat bahwa Hijab Modis adalah “tidak memenuhi syari’at Islam”, karena terlalu mencolok dan justru menjadi pusat perhatian lawan jenis. Dengan seperangkat dalil-dalil agama mereka mulai menyerang Hijab Modis dari berbagai sudut, dan mereka juga kerap mengadakan kajian-kajian seputar keilmuan agama seperti komunitas hijab pada umumnya.

Jika kita amati, fenomena seperti ini memang sedikit banyak menyisakan pertanyaan, dari pertanyaan yang bersifat fashion hingga ideologi!. Sekilas memang tampak hanya persaingan antar komunitas fashion saja, namun disini muncul perihal yang memuat keyakinan (ideologi). Katakanlah fenomena kemunculan Hijab Syar’i, bagi seorang penjual kain, hal itu memang tampak positif saja karena merupakan rejeki dari merebaknya tren berhijab. Tetapi bagi penggiat pemikiran Islam, fenomena kemunculan Hijab Syar’i menjadi PR yang cukup memeras otak. Bagaimana tidak? Coba kita lihat sekali lagi apa yang terjadi antara kelompok Hijab Besar dengan kelompok Hijab Modis. (maaf sebelumnya, lebih baik nama “Hijab Syar’i” kami ganti menjadi “Hijab Besar”, karena memang “belum tentu” pas dengan Syari’at Islam).

Yang terjadi di lapangan, posisi Hijab Modis adalah sebagai terdakwa, sedangkan Hijab Besar sebagai si pendakwa. artinya, pihak Hijab Besar selalu bersikap represif (memojokkan) terhadap kelompok Hijab Modis dengan berbagai alasan seperti yang telah penulis katakan diatas. Padahal jika dirunut dari segi “Jasa” (kontribusi) kepada keislaman, sudah jelas lebih banyak berasal dari kelompok Hijab Modis . Mengajak wanita untuk menutup aurat misalnya. Yang dulu begitu enggan untuk memakai Hijab karena modelnya terlalu “monoton”, sekarang menjadi ingin berjilbab lantaran banyaknya corak dan lebih familiar. Bukankah tujuan utama hijab adalah semata-mata untuk menutup aurat?. Kemudian, apa sumbangsih kelompok Hijab Besar bagi keislaman? Mungkin akan mensyari’atkan model jilbab (hijab) yang kurang syari’at?, sesuai kata-kata yang sering di publish di berbagai media sosial oleh kelompok Hijab Besar ini,”Ayo.. Yg belum berhijab, segerakan | Yg sudah berhijab, hijabnya syar'i-kan | Yg sudah syar'i, syiarkan ke sebanyak mungkin muslimah”. (Dikutip dari akun facebook Hijab Syar’i /Hijab Besar). Coba baca sekali lagi kalimat tersebut, disini sangat terlihat unsur “kecongkakan religius”, mereka menganggap jilbab-nya lah yang paling syar’i, bahkan mereka menamai dirinya dengan “Komunitas Hijab Syar’i” yang kemudian model jilbab selain dirinya dianggap tidak memenuhi syari’at. Nah ! disinilah letak permasalahannya !. Kira-kira seperti apa model dan bentuk Hijab yang memenuhi syari’at Islam itu? 

Belum sempat kita berbicara jilbab, ulama sudah berbeda pendapat tentang makna jilbab itu sendiri. Ada yang mengatakan jilbab adalah kerudung, ada juga yang mengatakan baju lebar dan sebagainya. Begitu juga dengan batasan aurat, ulama juga berbeda pendapat tentang ini, ada yang mengatakan bahwa seluruh tubuh adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan, ada juga yang menganggap bahwa wajah merupakan aurat yang harus ditutupi, dan ada juga ulama yang berpendapat yang penting kita memakai pakaian terhormat (sopan). Karena memang Al-Qur’an tidak menyebut batasan tentang aurat !. Jika kita boleh flashback, pada jaman dahulu organisasi-organisasi Islam di Indonesia seperti Muslimat NU apakah mereka mengenakan jilbab? Tidak !. Aisyiyah Muhammadiyah pakai jilbab? Tidak !. Bahkan Istri orang sekaliber Buya Hamka pun tidak mengenakan jilbab. Bukan berarti mereka tidak tahu, namun memang para ulama masih berbeda pendapat.

Jadi pada kesimpulannya, tidak ada ruang bagi suatu kelompok untuk menyalahkan kelompok lain yang berkenaan tentang jilbab ini. Apalagi dugaan kesalahan itu muncul hanya karena perbedaan model berjilbab !, Dan terkadang malah menuduh bahwa model jilbab yang dikenakan oleh kelompok Hijab Modis merupakan adopsi dari busana agama lain, kemudian dilanjutkan dengan menuduh bahwa mereka meniru-niru kebudayaan Yahudi misalnya. Ini sangat bodoh, dan terlalu mengada-ada !. Walaupun jika memang ada kemiripan, faktor ketidaksengajaan bisa saja terjadi, apalagi di era globalisasi seperti sekarang ini. Jika kita sering melihat perkembangan dunia Arab, umat Nasrani yang berada disana juga memakai jilbab seperti pada umumnya umat Islam. Jilbab sudah menjadi adat dunia Arab, pedagang Heroin pun disana juga mengenakan busana seperti yang kita anggap sebagai busana Islami di Indonesia. Menurut Ibn ‘Asyur seorang ulama Andalusia berpendapat bahwa jilbab memang murni produk budaya Arab yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Islam. 

Adapun pengertian dalam surat Al-Ahzab ayat 59, meskipun dalam redaksi ayat tersebut memerintahkan jilbab, tetapi bukan semua perintah dalam Al-Qur’an merupakan perintah wajib. Demikian pula dengan hadits-hadits yang berkenaan tentang perintah berjilbab bagi wanita adalah perintah dalam arti “sebaiknya” bukan seharusnya. Dari sini kita jadi lebih mengerti betapa luasnya pembahasan tentang jilbab. Dari ulama klasik hingga ulama kontemporer masih berdebat mengenai perihal satu ini. Maka dari itu, tidak mudah untuk memvonis seseorang itu benar atau salah, sesuai syari’at atau tidak. Al-Qur’an dan Hadits memang landasan utama umat Islam, tetapi dalam pengambilan hukumnya (istinbath) diperlukan seseorang yang berkompeten dalam bidangnya, dan kita tidak boleh sembarangan dalam menafsirkan teks-teks agama, apalagi banyak dari kita yang hanya mengandalkan “Al-Qur’an terjemahan Departemen Agama RI” sudah berani mengambil kesimpulan hukum. Islam tidak menginginkan hal semacam itu. 

Pada akhirnya, berjilbab dengan model apapun sah-sah saja, dan tentunya berjilbab itu baik ! tetapi jadi tidak benar jika karena ingin mempertahankan kelompok anda, anda harus menyerang pandangan kelompok lain. Kelewat sepele jika busana dijadikan tolok-ukur ketaqwaan seseorang.

Wallahu a’lam Wa ahkam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun