Mohon tunggu...
Siti Zuliani
Siti Zuliani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Peneliti Mahasiswa Psikologi UIN Malang Relawan

Just Do it.

Selanjutnya

Tutup

Love

Salahkah Pelakor? Mari Melawan Stigma Pelakor

22 Februari 2021   21:17 Diperbarui: 22 Februari 2021   21:33 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PELAKOR ITU  APA SIH?

PELAKOR merupakan singkatan dari Perebut Laki Orang. Jadi, stigma ini jelas dituju kepada para perempuan yang menjadi orang ketiga di hubungan rumah tangga orang lain. Stigma PELAKOR sudah lama menjadi perbincangan masyarakat Indonesia apalagi semenjak banyak terjadi di kalangan artis akhir-akhir ini. Maha Netizen semakin gencar memberikan komentar terkait ini. Banyak yang menyalahkan wanita yang menjadi orang ketiga dan ada pula yang menyalahkan lelaki. Banyak sebutan yang dilontarkan : Dassar, Laki-laki hidung belang dan Wanita ga tau diri dan gatel. Begitulah dunia maya, begitu sadis. OKE!, sebelum kita jadi ikutan julid. Yuk, Kita Kupas terkait Stigma Pelakor.

Menurut psikolog feminisme, Ester Lianawati dari webinar yang dilakukan beliau di komunitas Perempuan Berkisah menyampaikan bahwa stigma ini hadir karena pertama, anggapan masyarakat terkait pelakor adalah amoral sehingga pelaku wajib dihukum. dan persepsi lainnya yaitu Cognitive Miser, pola pikir dikotomik yang secara tidak langsung menyatakan bahwa perselingkuhan itu menyakitkan kemudian adanya korban. dan ada korban berati ada pelaku. Secara terus menerus,  stigma ini seakan menyalahkan para perempuan baik sebagai perempuan korban atau pun disisi pelaku sehingga muncul lagi stigma seperti "Makanya, jadi istri itu harus pinter dandan biar ga direbut" dsb. Seakan-akan di kasus ini laki-laki direbut oleh perempuan, dan antar perempuan menjadi saling membenci.  Dunia perselingkuhan begitu kejam ya... 

Tulisan ini sama sekali tidak mendukung terkait menjadi pelakor atau melakukan perselingkuhan. Tetapi, stigma yang diberikan kepada perempuan sekarang menjadi momok untuk antar perempuan saling curiga dan membenci. Budaya patriarki yang dikecamkan kepada para wanita menjadi hal yang mendasar untuk diberantas.  Melawan stigma ini bukan hanya dengan kita mengingatkan pengguna untuk berhenti men-stigma tetapi kita sebagai individu dalam masyarakat dapat menghindari penggunaan istilah dalam artian tidak ikutan mempopulerkan. kedua, gunakan istilah netral seperti relasi eksternal, kekasih atau pasangan lain. Ketiga, Jangan jdi penguat terhadap pengguna istilah. kita dapat memberi respon netral dan informatif. jangan pula memberi respon berlanjut, abaikan, dan jangan tertawa. 

WANITA ITU KUAT DAN KITA SEBAGAI ORANG YANG MENGETAHUI PERMASALAHAN RUMAH TANGGA ORANG LAIN TIDAK SEBAIKNYA KITA MENGOMENTARI BAHKAN MENJUSTIFIKASI ITU. TIDAK ADA YANG PATUT DISALAHKAN BIARKAN MEREKA MENYELESAIKAN PERMASALAHAN MEREKA TANPA CAMPUR TANGAN KITA YANG HANYA SEBATAS MENGETAHUI KULIT PERMASALAHANNYA SAJA. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun