, sebuah situs berita dan informasi tentang lingkungan, pada 11 Mei 2019 menulis artikel tentang berkah warga desa Teluk , Kecamatan Sicanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang berhasil  survive dengan upaya yang kreatif mengganti kelapa sawit dengan menanam jambu: Jambu Deli. Selain karena anjloknya harga kelapa sawit, kesulitan air menjadi pukulan telak warga desa Teluk untuk meninggalkan sawit. MONGABAY.CO.ID
Kelapa sawit sangat rakus akan air, sehingga persediaan air bawah tanah desa menjadi berkurang dan warga kesulitan persediaan air bersih untuk kehidupan sehari-hari. Belakangan, jambu hasil panen desa tersebut berhasil menjamah pasaran lokal dalam negeri, bahkan diekspor ke luar negeri. Kewalahan atas permintaan yang tinggi, warga desa akhirnya memutuskan hanya melayani pasar dalam negeri untuk saat ini. Perekonomian setiap keluarga terangkat, masalah persediaan air teratasi, hak-hak dasar masyarakat terpenuhi, bahkan mereka bisa menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi. Luar biasa bukan?
Mungkin petani desa Teluk tidak mengenyam pendidikan tinggi. Mereka tidak paham akan struktur ekonomi. Tapi lihat upaya mereka dan dampaknya bagi perekonomian Indonesia! Mereka membangun desa mereka.
Mereka meningkatkan roda perekonomian provinsi mereka. Mereka membantu pemerintah mengurangi  angka pengangguran dan kemiskinan. Mereka berperan mencerdaskan anak bangsa dengan mengantar anak-anak mereka untuk mendapat pendidikan tinggi. Setidaknya mereka tidak merengek-rengek meminta belas kasihan, atau bahkan berdemo sana sini menuntut apapun yang bisa mereka tuntut dengan mengabaikan kewajiban-kewajiban mereka. Bahkan mereka membantu perekonomian daerah lain, misalnya pengepul dan pedagang jambu di daerah lain yang menerima pasokan hasil pertanian mereka. Sekecil itu, berdampak besar. Demikian jejaring ekonomi saling taut menaut, simpul menyimpul dan tolong menolong. Dimulai dari upaya dan memecut diri agar berdaya itu juga sebuah sikap matang untuk membantu agar bangsa kita menjadi bangsa yang maju.
Di lain linimasa, artikel dari detik.com beberapa waktu lalu memberitakan sekelompok  mahasiswa sebuah kampus bergengsi di Indonesia pada hari buruh internasional 1 Mei 2019 kemarin menuntut Presiden RI, Pak Joko Widodo atas ketersediaan lapangan pekerjaan. Alih-alih berupaya dan mengasah keterampilan agar berdaya, adik kita yang masih unyu-unyu ini  entah belajar ilmu manja dari mana berani-beraninya menuntut hak istimewa dari presiden. Jika mereka anak ekonomi, saya khawatir ketika mata kuliah ekonomi makro, mereka meninggalkan kelas atau terlelap tidur sehingga mereka tidak paham tentang pertumbuhan ekonomi lewat produktivitas manusia yang digagas Adam Smith dan Karl Marx.
 "Direbut asing, direbut robot, mau kerja dimana coba?",Â
Begitu bunyi spanduk yang mereka bentangkan dengan bangga. Tiba-tiba saya mual membaca spanduk itu. Saya malu. Bahkan mereka masih kuliah, masih merenggek uang jajan dari orang tuanya untuk sekedar pergi nonton dengan pacarnya, saya khawatir mereka tidak tau substansi dari sejarah hari buruh. Bekerja saja belum, sudah meminta lapangan pekerjaan. Â Jika dianalogikan, mereka ini seperti anak malas yang bangun kesiangan dan menyalahkan ayam yang merebut sarapapan mereka karena bangun lebih pagi. Alih-alih menjadi pemikir untuk membantu bangsa ini maju, mereka malah mempermalukan diri mereka sendiri, institusi perguruan tinggi mereka, dan termasuk pendidikan tinggi manapun.
Mereka menorehkan sampah pada peradaban bangsa kita, menambah masalah. Jika dibandingkan dengan petani jambu Desa Teluk yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, adik-adik kita yang masih unyu-unyu ini seperti menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Ada apa dengan pendidikan tinggi kita dan mental anak-anak bangsa kita? Dalam sejarah bangsa manapun, tidak ada bangsa yang berhasil maju jika anak bangsanya manja.
Ayolah adik-adik, jangan menjadi anak bangsa yang cengeng. Tidak usah jauh-jauh belajar mental pejuang dari saudara-saudara kita di Cina sana. Cukup belajar saja dari petani jambu di Desa Teluk. Â Bangsa kita sudah cukup masalahnya, jangan menambah beban-beban dan polusi sampah lagi. Setidaknya jangan menjadi sampah masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H