Gerakan-gerakan perjuangan Islam Negara tetap ada dalam periode pasca Reformasi. Perjuangan mulai dialihkan bukan dalam gerakan yang frontal, namun dilakukan dengan cara merawat keyakinan bahwa Din wa Daulah adalah yang terbaik untuk bisa mewujudkan Indonesia Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur. Hizbut Tahrir Indonesia adalah salah satu contoh organisasi yang tetap merawat kepercayaan berdirinya “Khilafah” di bumi Indonesia. Namun, pemerintah tetap dalam defence yang sama, melabeli gerakan itu sebagai gerakan radikal. Opini bahwa radikal itu berbahaya bagi keutuhan dan kesatuan bangsa mampu mereduksi gerakan-gerakan fundamentalis. Publik pun belum mau menerima konsep penyatuan Islam dan Negara, bahkan sekalipun ia Islam. Kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural, menanamkan kepercayaan bahwa Islam dan Negara adalah sesuatu yang terpisah. Ketakutan akan kebebasan yang terkungkung jika Syariat Islam tegak membuat paham Plural lebih bisa diterima mayoritas.
Melalui terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila terancam dibubarkan. Hal ini menegaskan dominasi pemerintah terhadap tafsir tunggal Pancasila kembali menguat setelah sebelumnya Orde Baru melakukan hal yang sama. Cap radikal juga kembali dipakai pemerintah untuk menggebuk kelompok Fundamentalis Islam, sebagai upaya mempertahankan Pancasila versi pemerintah. Pada akhirnya Surat Keputusan Menteri Hukum dan Ham Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 mencabut Keputusan Menteri Hukum dan Ham Nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI. Artinya secara resmi HTI menjadi organisasi terlarang di Indonesia. Perjuangan dengan misi menegakan Din wa Daulah nyatanya selalu menemui kegagalan. Penolakan bukan hanya dari kalangan non Islam, tapi di kalangan intelektual Muslim pun konsep Khilafah dianggap sebagai kemunduran. Menggabungkan antara Islam dan Negara dalam satu kesatuan dianggap mereduksi Islam itu sendiri. Permasalahan apakah Islam mempunyai konsep pemerintahan sendiri masih dalam perdebatan, toh masa kejayaan Islam era Abbasiyah dan Utsmani tidak lebih dari suatu Dinasti Politik. Dimana Khalifah mengambil alih peran Muhammad, diluar peran sebagai Nabi. Nabi Muhammad pun tidak memberikan wasiat tentang bagaimana pemerintahan harus berjalan. Sehingga klaim Islam mempunya cara pemerintahan sendiri masih dipertanyakan. Menghadirkan Tuhan dalam Negara, akan selalu ada golongan yang memperjuangkan itu. Entah yang ditampilkan Islam yang marah atau Islam yang ramah, keduanya merupakan gerakan reformis Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H