Masa-masa ekonomi Indonesia yang kurang menguntungkan akhirnya datang juga. Rilis pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan pertama yang memperlihatkan perlambatan sebetulnya hanya menguatkan “feeling” kacamata awam yang selama ini diperlihatkan oleh sektor mikro kita yang sudah tertatih sejak awal tahun. Triwulan pertama tahun 2015 ekonomi Indonesia tumbuh 4,71 persen, atau mengalami perlambatan 0,5 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Sedangkan jika dibandingkan dengan triwulan keempat tahun 2014, nilainya melambat 0,18 persen. Dari catatan statistik, kinerja triwulan pertama tahun 2015 ini merupakan capaian terburuk sejak tahun 2009.
Perlambatan bukan berarti kiamat, ekonomi kita tetap tumbuh namun pertumbuhannya tidak sebesar periode sebelumnya. Toh Negara-negara yang selama ini ekonominya kuat seperti Tiongkok dan Singapura pun juga mengalami koreksi.
Masih ada harapan ekonomi kita akan mengalami rebound pada triwulan kedua. Sumbernya ada pada pengeluaran pemerintah baik melalui belanja tidak langsung, dan terlebih adalah belanja langsung berupa belanja modal infrastruktur yang nilainya cukup besar. Sejumlah kementerian yang mendapat alokasi anggaran jumbo menyatakan sudah siap untuk menggelontorkan anggarannya. Sebut saja Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Desa, Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan dan lain-lain disebut sudah menyelesaikan DIPA nya. Meski berita sebuah media cetak nasional mengabarkan adanya Kementerian yang sampai saat ini masih belum tuntas menyusun struktur organisasi dan tata kerjanya. Padahal sudah 6 bulan berlalu sang menteri telah dilantik oleh Presiden RI. Siapakah menteri dimaksud..?
Hal strategis berikutnya adalah sinergi pusat dan daerah karena 30 persen belanja republik ini ada di daerah. Percepatan belanja langsung baik pada anggaran pusat maupun daerah menjadi sangat penting pada kondisi saat ini. Kebiasaan pemerintah daerah yang menunda belanja langsung hingga triwulan keempat adalah tindakan yang kurang bijak dan tidak baik untuk ekonomi daerah dan nasional.
Penting untuk diperhatikan adalah Konsumsi rumah tangga sebagai salah satu mesin pertumbuhan yang perlu dijaga. Namun, mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan konsumsi rumah tangga tentu juga mengalami keterbatasan karena mata rantai perlambatan ekonomi mikro juga berdampak negatif terhadap konsumsi rumah tangga.
Kondisi eksternal yang penting untuk diperhatikan adalah sinyal penguatan ekonomi Negeri Paman Sam. The Fed berencana menaikan suku bunga acuan. Jika ini terjadi maka makin perkasalah US Dollar. Di sisi lain rupiah akan semakin terdepresiasi. Pada level Rp. 13.200 per USD saja ekonomi kita sedikit limbung, bagaimana kalau tembus Rp. 14 ribu atau bahkan Rp. 15 ribu. Lalu dimanakah masa bulan madu pemerintahan ini yang dulu konon katanya rupiah akan perkasa jika Jokowi naik jadi presiden…
Terakhir, mari kita sama-sama menunggu dengan penuh kesabaran kinerja nawa cita yang dijanjikan pemimpin saat ini sembari berdoa agar seluruh penyelenggaran negara dapat bekerja dengan baik sehingga situasi ekonomi yang kurang menguntungkan ini bisa cepat berlalu…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H