Judul di atas, -sekaligus pertanyaan- , tertuju terutama bagi Anda semua yang mati-matian (?) bertahan menyama-artikan dan menyama-maknakan pulang kampung (pulkam) dengan mudik: Biasakah kita menyebutkan orang meninggal dunia dengan ungkapan "Telah mudik ke rahmatulah Sdr .......?" Bukankah yang selalu terucap adalah: "Telah (ber)pulang ke rahmatulah dengan tenang Sdr ........?" atau ada juga ungkapan lain "Berpulang ke Rumah Bapa." Â Penegasan ini semakin menguatkan tulisan saya kemarin (24 April) Â betapa pulkam berbeda dari mudik, bukan saja secara kontekstual, tetapi bahkan juga secara tekstual.
Dari sudut pandang Community Development  (Pengembangan Masyarakat) mudik adalah suatu gerakan massa yang massive dalam bingkai waktu khusus, dan gerakan semacam ini  tidak selalu dijumpai di kegiatan pulkam. Bingkai "waktu khusus" di negeri mayoritas Muslim, tentulah hari raya Idul Fitri yang melekat dengan puasa; sementara kita melongok ke Filipina negara tetangga kita, misalnya, "waktu khusus" ini ada di bulan Desember untuk merayakan Natal, bahkan sudah diinisiasi sejak awal November ketika orang-orang sudah mulai mudik untuk merayakan  Hari Orang Kudus dan Hari Arwah.
Suatu kegiatan (activity)  memenuhi syarat dan dapat disebut sebagai gerakan (movement) jika sekurang-kurangnya empat syarat berikut terlaksana, yakni  (a) ada rutinitas atau periodisasi yang jelas, (b) berdasar pada komitmen yang baik, (c) semakin kuatnya ikatan emosional, dan (d) institusinya semakin kokoh. Mudik, yakni pulang untuk merayakan Idul Fitri, adalah gerakan massa yang massive karena kurun waktunya jelas, bahkan puncaknya sering disebut dengan sangat jelas -"H -- dan H +" -  dan rutin terjadi dalam setiap tahunnya.
Siapa pun yang melakukan mudik, ia pasti digerakkan oleh niat baik, yaitu komitmen hati baik, oleh karena itu pasti ada persiapan-persiapan tertentu yang terjadi sebelum, selama, bahkan sesudah puncaknya dialami. Komitmen hati baik seperti itu tumbuh dan berkembang semakin kokoh karena ada ikatan-ikatan emosional selama kurun mudik itu.
Ikatan emosional bersumber pada sejumlah hal, ada tradisi (bersih kubur dan nyadran, kirab, dll), Â ada sensasi (kuliner misalnya), ada ikatan kekeluargaan, serta sejumlah ikatan lain yang "memberi nikmat di hati." Hasil atau pengukur kualitas mudik kemudian terlihat di semakin kokoh-kuatnya institusi keluarga, RT/RW, Desa dan seterusnya.
Di banyak daerah terbukti, misalnya, Â hasil saweran mudik terbangunlah jalan mulus, gedung atau balai pertemuan RW, bedah rumah warga miskin dan sebagainya. Itu semua membuktikan betapa mudik semakin berkualitas karena institusi keluarga, dusun, RT/RW, Desa dan seterusnya semakin kuat.
Jadi, tidak ada mudik ke rahmatulah untuk mengungkapkan dan menghantar orang yang berpulang (meninggal), karena mudik (selalu) bermakna dapat berulang lagi. Apa yang akan terjadi kalau orang meninggal mudik, meskipun bisa jadi meninggalnya bertepatan pada puncak hari raya itu? Orang meninggal dunia kok mudik, lha rak medeni bocah .........
-0-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H