Ketidaksetujuan atau bahkan cibiran atas pernyataan Bpk Presiden Joko Widodo yang menyebutkan mudik berbeda dari pulang kampung  semata-mata karena mereka itu melihat teks mudik dan pulang kampung, bukan melihat konteks sebagaimana dijelaskan oleh Bapak Jokowi. Konteksnya jelas, yaitu masa puasa dan menjelang hari Raya Idul Fitri dalam kondisi pandemik COVID 19. Upaya keras sepenuh hati Pemerintah adalah memutus matarantai penularan virus itu, di antaranya adalah Jangan Mudik.  Mengapa kosakata jangan mudik yang didengung-dengungkan, bukannya jangan pulang kampung? Ya memang, karena tradisi (baca: konteks waktu) yang sudah berpuluh-puluh tahun terjadi ialah di masa puasa dan lebih-lebih menjelang hari raya Idul Fitri orang melakukan mudik.  Sedangkan pulang kampung konteks waktunya bisa kapan pun (sewaktu-waktu), entah pada waktu panen atau ketika akan menggarap lahan, entah karena ada undangan hajatan dari saudara atau tetangga, entah juga melayat dan sebagainya. Konteks waktu semacam itulah biasa disebut pulang kampung, yang memang berbeda dari konteks waktu mudik pada saat puasa dan menjelang Idul Fitri.  Â
Bapak Jokowi sangat jeli melihat konteks semacam itu, jauh lebih jeli dibandingkan dengan  para ahli bahasa maupun sosiologi yang (maaf seribu maaf) hanya semata-mata berpandangan secara tekstual belaka, bukan kontekstual. Kalau kacamata kuda hanya mengarahkan ke pemahaman teks belaka, ya maaf .......lalu menyamakan begitu saja antara mudik dan pulang kampung, dilengkapi bali desa, tilik desa, dan entah kosakata apalagi lainnya. Melulu memahami secara tekstual, seahli apa pun orang itu tidak merasa perlu merasakan perbedaan konteks waktu: Pulang ke desa untuk beridul fitri (mudik) atau melayat teman masa kecil (pulang), atau sekedar tilik simbok karena kangen. Padahal secara kontekstual apa-apa yang disebutkan itu sangat berbeda di sanubari ini: pulang melayat berbeda sekali baik dari sisi mental dan perasaan dibandingkan dengan tilik simbok; apalagi dibandingkan dengan merayakan Idul Fitri (mudik). Posisi mental/hati inilah kontekstual yang seharusnya dipahami oleh ahli bahasa, para sosilog maupun siapalah, dan beruntung kita telah ditnntun oleh Bapak Jokowi.
Konteks mudik (tahun 2020 ini) memang menjadi sangat luas dan sangat urgent, yakni bagaimana seluruh perhatian kita tertuju kepada penanggulangan wabah COVID 19. Intinya, bersedialah berkorban untuk tahun 2020 ini tidak mudik dulu, sebab di tahun-tahun yang akan datang masih akan ada mudik lagi. Akan tetapi, kalau kesediaan berkorban kita tipis, bahaya wabah virus corona mengancam kemana-mana dan di mana-mana; kerugian sangat besar dapat melanda kita secara berkepanjangan. Itulah mengapa kosakata "memutus matarantai" penularan virus dipergunakan, karena apabila kita berhasil memutusnya, tidak perlu menunggu tahun depan, karena kemungkinan besar masih di tahun 2020 ini pun kita bisa leluasa pulang kampung.Â
Para ahli bahasa, para sosiolog, dan para "nyinyirwan/nyinyirwati" mari kita galakkan kondisi  bersiapsedia  untuk berkorban (saat ini sajalah) untuk kepentingan bangsa dan negara ke depan, seraya memahami konteks berbangsa dan bernegara yang lebih luas namun sangat-sangat urgent saat ini, yakni menghadapi COVID 19.
     Â
-0-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H