Adanya mata kuliah "bimbingan dan konseling" membuat saya memahami betapa diri ini adalah unik, penuh anugerah, teka-teki, dan sederet keluarbiasaan yang tak terduga: emosi, alam sadar, bawah sadar, aktualisasi diri, dll. Semua menjadi terang, permasalahan kejiwaan dan tingkah laku, membuat saya menjadi lebih telaten untuk memanajemen diri lebih adil.
Yang paling saya ingat, yaitu pada sesi, pencatatan diri di mana semua mahasiswa harus menuliskan apa kekurangan dan kelebihan diri sendiri menurut diri sendiri. Permainan ini sangat menggoda, tapi juga buat bingung. Selama ini, kita biasa dipuji tak biasa dikritik, maka saat diri sendiri disuruh mengkritik diri, dengan menyebut hal yang menjadi kekurangan diri, menjadi heran, "Apa kekurangan saya???" Kebanyakan dari kami sangat sulit menuliskan poin pertama apa yang menjadi kekurangan diri sendiri. Hal ini mengingatkan saya pada tingkah laku dewan perwakilan kita di lembaga terhormat itu, kebiasaan mereka mendapat pujian, sehingga ketika dikritik, mereka merasa bahwa semua kebijakan yang mereka ambil adalah baik, untuk kesejahteraan rakyat. Tapi kenyataannya, siapa yang sejahtera??? Terlepas dari itu, saya juga melihat bahwa sebagian besar kita, lebih suka untuk disanjung daripada sebaliknya. Mau tidak mau, kita memang harus mengakui hal itu. Lisan bisa lain, tapi hati???
Kembali ke permainan. Saya sejak saat itu jadi tahu, betapa kekurangan saya amat banyak, satu di antaranya yang paling menonjol adalah "tak berterima terhadap kritik". Apakah hal ini juga terdapat pada diri Anda??? Saya tidak tahu, namun saya yakin, para kompasianer adalah pribadi-pribadi yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang baik. Walau sebagiannya juga tak jauh berbeda dengan saya. Saya makan nasi, saya tidur, saya on-line, saya yakin kita banyak kesamaan. Namun yang penting bagi saya adalah, belajar memahami diri melalui kritik diri.
Sejak saat itu, saya membuat daftar, daftar kekurangan diri saya. Mulai dari sikap ogah, sampai manja harus on-line lama demi lihat status orang. Bukan buat saya murung, malah buat saya semangat, dan mencari-cari jawaban, "Bagaimana saya agar tidak demikian??? agar waktu saya banyak bermanfaat???" Jawaban-jawaban atas pelbagai kekurangan diri, banyak saya temukan ketika saya berdiskusi dengan mereka yang justru saya anggap awalnya sebagai "penghuni jalanan". Mereka, adalah para perantau dari Sulawesi dan Solo. Saya sendiri terheran-heran awalnya, kami bertiga, berbeda identitas, saya Sunda Sukabumi, Ilham--sebut saja demikian--dari Bugis Sulawesi, dan Mas Ruly, sudah dapat ditebak, dari Jawa Solo. Kami bergembira setelah berdiskusi lama. Ternyata mereka adalah sosok-sosok yang luar biasa. Pengalaman menempa mereka menjadi pribadi tangguh, tahan banting. Satu hal yang saya salut, walau mereka secara pendidikan lulusan SMA dan MTs, tapi pemikiran mereka mengenai hidup sungguh di luar dugaan. Optimisme mereka patut diacungi jempol. Dan mereka berhasil belajar memahami diri lewat kritik diri sendiri. Inilah yang tak diduga-duga. Dibanding sekawan di kampus, saya melihat mereka berdua lebih berdedikasi.
Dari dua kawan itulah, kemudian saya belajar bagaimana memahami diri sendiri dengan melihat pelbagai kekurangan untuk dibenahi dan diisi dengan hal baik lagi membaikkan. Terima kasih kawan, persahabatan di antara kita, saya yakin akan berlanjut. Diskusi kita di pinggir jalan sambil ditemani minuman ringan, akan berubah pada beberapa tahun kemudian di suatu tempat yang sudah kita bayangkan hari ini. Tadi.
Salam Kompasianer,
@aangar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H