Aan Anshori[1]
KASUS matinya 4 siswi SDN Sukorejo I Perak Jombang yang tenggelam di lubang bekas galian memasuki babak baru. Polisi bergerak cepat memeriksa guru yang dianggap bertanggung jawab atas kematian tersebut[2]. Langkah aparat hukum ini patut diapresiasi sekaligus dicermati. Sebab, tidak sedikit warga menganggap upaya aparat hukum ini jauh panggang dari api. Kenapa justru memprioritaskan pemeriksaan terhadap guru bukannya para pihak yang membuat/membiarkan kuari galian tidak ditutup kembali?
Secara umum, kegiatan pertambangan merupakan domain Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Secara lebih rinci, pelaksanaan Undang-undang a quo dijabarkan dalam peraturan pemerintah (PP), salah satunya PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam regulasi lokal setingkat peraturan daerah (perda), Kabupaten Jombang setidaknya mempunyai dua perda; Perda nomor 4 tahun 2013 tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, dan Perbup nomor 29 tahun 2014 tentang Tata Cara Persyaratan dan Perizinan Usaha Tambang.
Namun demikian, pascadikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 2/2014 terhadap UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, di mana kewenangan pemberian izin tambang -yang awalnya diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota- digeser menjadi domain pemerintahan pusat dan provinsi. Pergeseran ini, menurut hemat saya, tidak serta merta MENGHILANGKAN kewajiban pemerintah kabupaten/kota untuk memantau aktifitas penambangan di wilayahnya –termasuk reklamasi- sebagaimana mandat huruf (k) Pasal 8 UU Minerba. Oleh karena pasal tersebut belum dianulir oleh ketentuan lain.
MENJERAT PIDANA DAN PERDATA
Kalau mau ditelusuri, perlu diperiksa terlebih dahulu bagaimana kubangan seluas itu bisa ada di sana. Pemeriksaan ini penting untuk menemukan siapa yang bisa dimintai pertanggung jawaban. Tentu tidak sulit melacak asal usul kubangan itu. Kecuali, jika aparat hukum meyakini lubang besar itu merupakan bekas jatuhnya benda luar angkasa, yang bisa jadi aparat hukum akan menemui kesulitan memanggil alien karena Indonesia belum punya protokol acara pidana antargalaksi.
Akan tetapi polisi tidak perlu repot-repot, sebab bisa dipastikan kuari tersebut merupakan bekas jejak para pemburu galian C di Kota Santri -sebagaimana yang dilansir berbagai media lokal. Bahkan, Radar Jombang Jawa Pos hari ini (16/12) menyebut ada 65 kubangan sejenis tersebar di 19 kecamatan dengan jumlah beragam. Lubang-lubang tersebut dihasilkan oleh praktek penambangan ilegal.
Hemat saya, siapapun -tidak peduli kiai atau menteri, tentara atau pengusaha- jika melakukan penambangan tanpa mengantongi izin diancam oleh pasal 158 UU Minerba, bunyinya, “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Sebagai catatan, Pengadilan Negeri Mojokerto pernah menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp. 50 tahun kepada Agus Yudiono. Dia terbukti melakukan penambangan ilegal galian C di Desa Buluresik, Kecamatan Ngoro[3].
Sehingga logika awam akan dengan mudah menulusuri; jika bekas penambangan ilegal ini nyatanya menyebabkan seseorang kehilangan nyawa maka tidak perlu skill penyidikan khusus untuk bisa menerapkan pidana kelalaian sebagaimana diatur dalam Pasal 359 KUHP kepada penanggung jawab galian itu.
Namun bagaimana jika pelaku penambangan tersebut mengantongi izin alias legal? Menurut hemat saya, pelaku tetap bisa dikenakan pidana kelalaian dalam KUHP. Bahkan, pelaku seharusnya bisa dijerat hukuman tambahan karena tidak melakukan upaya reklamasi pascatambang, yang sayangnya Pemkab Jombang tidak (mau) mengatur hal tersebut.