Kira-kira seminggu lalu saya menghadiri undangan Mas Dede Oetomo, dedengkot aktifis LGBT. Founder GAYa Nusantara ini melaunching gerakan baru untuk mempromosikan hak ketubuhan dan seksualitas di komunitas muslim, namanya kerennya Coalition for Sexuality and Bodily Rights in Moslem Society, disingkat CSBR. Dalam pertemuan di Perpus Bank Indonesia Surabaya itu saya bertemu banyak sekali aktifis dari berbagai sektor, utamanya yang concern dalam isu LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Intersex, Queer).
Secara reflek, gaydar saya mendeteksi tidak sedikit dari mereka yang berorientasi seksual homo, baik gay maupun lesbian. Gaydar merupakan kemampuan built-in yang dimiliki seorang homoseksual. Dengannya, seseorang mampu mendeteksi (awal) orientasi seksual orang lain; apakah dia hetero, homo atau biseksual tanpa perlu bertanya kepada yang bersangkutan. Meski bukan gay, saya tertarik melatih kemampuan ini. Mentor awal saya adalah Dv. Dia perempuan dan seorang L; kode umum untuk menyebut lesbian.
Kembali ke pertemuan tadi, secara tidak sengaja saya bertemu Dy, seorang kawan lama. Dia adalah direktur salah satu organisasi yang juga fokus pada isu seksualitas. Sama dengan Dv, Dy juga seorang L. Keduanya termasuk lesbian yang berani menyatakan dirinya seorang lesbian. Istilah umumnya 'sudah berani coming out'. Urusan coming out ini memang agak rumit, sebab tidak sedikit dari mereka yang masih memilih menyembunyikan identitas orientasi seksualnya. Alasannya beragam. Ada yang masih bingung dengan eksistensi seksualitasnya, namun tidak sedikit yang belum bisa menerima realitas bahwa mereka seorang L. Entahlah, namun saya menduga faktor insekuritas dan inkonfidensi cukup dominan sebagai latar belakangnya.
Bagi mereka, dalam lingkungan seperti ini, tidak mampu berelasi dengan lawan jenis merupakan beban sosial yang tidak mudah. 'Hah?! Wedok kok seneng wedok. Hueekkk...' Begitu respon miring salah satu teman saya suatu ketika. Atau, coba tanyakan orang tua secara acak, bagaimana respon mereka saat mendapati anak perempuannya ternyata lebih menyukai perempuan ketimbang laki-laki. Saya yakin, mereka akan terguncang, raut muka mereka akan berubah tegang. Persis seperti wajah tante saya ketika menjawab pertanyaan pendek yang saya lontarkan dengan bercanda, 'Yok opo nek anak sampeyan ujuk-ujuk ngaku nek de'e seneng podo lanange?'.
Dalam arus besar pandangan Islam, homoseksualitas tidak terapresiasi positif, bahkan bisa dikatakan mengalami represifitas. Pandangan minor atas orientasi-seksual ini selalu ditautkan pada peristiwa yang menimpa umat Nabi Luth. Pengalamatan ini tidak seluruhnya tepat karena terdapat unsur fakhisyah (kekejian) pada praktek masa itu. Sedangkan tidak selamanya hubungan seksual sejenis mengandung unsur tersebut. Generalisasi atas sodom dan homoseksualitas pada gilirannya berimplikasi terhadap cara pandang para ulama, terutama dalam penerapan hukum Islam atas praktek ini.
Bagaimana dengan lesbian? Nasibnya setali tiga uang. Banyak ulama menganggap praktek ini sama dengan zina, yang oleh karenanyaya berlaku hukuman zina. Namun ada juga ulama yang lebih lunak bersikap. Lesbian dianggap bukan zina karena tidak melibatkan penis dalam aktifitas seksualitas.
Melucuti Basis Represifitas
Dalam komunitas Islam, lesbianisme dianggap tercela karena dipersepsi melawan idealitas sosok perempuan. Lesbianisme adalah subversif dan “kontra-revolusioner” karena melawan garis takdir perempuan yang telah ditentukan oleh cara pandang laki-laki; yakni sebagai ibu dan istri. Sebagai istri, perempuan ditempatkan tidak lebih dari sekedar obyek seksualitas laki-laki. Dalam pandangan patriarkhi, posisi ini selanjutnya perlu 'disempurnakan' lagi dengan cara "mewajibkan" para istri berstatus subur agar mampu melakukan reproduksi.
Nah, seksualitas perempuan yang tidak linier dengan dua hal tersebut -termasuk lesbian- dianggap terjangkiti penyakit jiwa, yang pada akhirnya perlu disembuhkan. Menurut Habib (2007), dalam epistomologi kontemporer Arab secara umum, penyebab terjadinya homoseksualitas perempuan bisa bermacam-macam; pengalaman kekerasan oleh laki-laki, trauma kehidupan seksual, pendidikan yang salah, dan dituduh menderita gangguan jiwa ringan.
Sungguhpun demikian, sebenarnya praktek lesbianisme telah menjamur di kalangan Luth umat laut 40 tahun sebelum “diambil alih” laki-laki (Murray, 1997). Hasrat seksualitas antarperempuan di komunitas Islam bukanlah hal yang tabu awalnya. Pada batas tertentu, masyarakat muslim bisa mentolerir kehidupan ini, sama seperti yang juga terjadi pada kekristenan awal (Boswell, 1980). Riset Samar Habib yang dipublikasikan pada 2007 dengan judul Female Homosexuality in the Middle East: History and Representations, menunjukkan homoseksualitas perempuan di dunia Arab bukanlah sesuatu yang dianggap saru hingga abad 13. Berbagai literatur dan karya seni menunjukkan variatifnya intimasi di kalangan perempuan. Tidak saja terjadi di kalangan elit dan terpelajar, praktek lesbianisme juga muncul di kalangan budak perempuan. Dalam rekaman historikus Islam, Tabari, kondisi ini muncul pada saat pemerintahan al-Hadi, khalifah keempat dinasti Abbasiyyah, sebelum digantikan Harun al-Rasyid. Represifitas atas homoseksualitas mengemuka seiring bangkitnya faksi ortodoks Islam diberbagai rezim.
Meminjam Foucault, cara pandang yang memberangus lesbianisme ini dioperasikan melalui hegemoni pengetahuan. Kuasa wacana 'lesbian adalah pendosa dan melawan kehendak 'alam' berjalan dengan cara merebut tafsir teks suci dan membakukannya ke dalam berbagai produk keagamaan, lalu didistribusikan melalui berbagai institusi pendidikan dan sistem sosial yang ada.
Bagaimana teks suci dioperasikan membungkam lesbianisme dalam Islam?. Pertama, terdapat dua ayat al-Quran Surah al-Nisaa' 15-16 yang dijadikan kerap dijadikan tautan. Saya akan kutipkan.