وَاللاَّتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمْ فَاسْتَشْهِدُواْ عَلَيْهِنَّ أَرْبَعةً مِّنكُمْ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّىَ يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan KEJI, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”.
وَاللَّذَانَ يَأْتِيَانِهَا مِنكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِن تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُواْ عَنْهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ تَوَّاباً رَّحِيماً
“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.
Apa yang dimaksud dengan fakhisyah (kekejian) pada dua ayat tersebut? Para penafsir Al-Qura seperti Tabari, Katsir, Jalalayn, Maududi maupun Qurtuby memaknainya sebagai perzinahan-heteroseksual. Mereka setidaknya satu suara ayat ini tidak berlaku lagi setelah turunnya regulasi-quranik menyangkut perzinahan dalam al-Nuur ayat 2. Hanya duo-Jalal dalam tafsirnya, Jalalayn, yang memperluas makna kata ya’tiyanihima pada ayat 16 dengan ‘liwat’ (sodomi). Jalalyn nampaknya mengamini pandangan madzhab Syafii yang memposisikan liwat sama seperti zina heteroseksual. Yang menarik, jika ayat 16 ini dibaca secara konsisten dengan frame seksualitas-sejenis maka untuk pasangan gay bisa dihukum. Apa hukumannya? Tidak cukup jelas, namun menurut Ibn Katsir dan al-Suyuthi, pelaku gay cukup dicela dan digampar dengan sandal. Seandainya pasangan gay tersebut bertaubat dan memperbaiki diri maka sudah dianggap cukup.
Kemungkinan lain, jika ayat 15 ditafsirkan sebagai praktek lesbianisme, maka apakah tidak seharusnya kata ganti (dlomir) dalam kata ‘alaihinna menjadi alaihima (dua orang perempuan)? Kecuali jika Alloh memaksudkannya sebagai praktek lesbian berjamaah (orgy). Di luar penafsiran-penafsiran tadi, patut juga dibaca dua ayat sebelumnya yang membincang tentang menejemen pembagian waris, tidakkah ada kemungkinan kekejian ini berkaitan dengan peringatan tuhan agar perempuan dan laki-laki tidak berlaku culas dalam pembagian waris (financial dishonesty)?
Jadi, kalau mau jujur, kedua ayat ini terlalu spekulatif dan terkesan sangat absurd untuk merepresi seksualitas lesbian. Bagi saya, menerapkan hukuman hadd atas lesbianisme tidak bisa didasarkan pada asumsi, hipotesis, pendapat, ‘kesepakatan’ sebuah kelompok, atau bahkan hadits sekalipun. Penghukuman ini –menurut hemat saya- membutuhkan justifikasi teks al-quran yang terang benderang, tidak interpretative, atau dalam bahasa hukum disebut beyond reasonable doubt. Apalagi hingga saat ini belum ada preseden historik Nabi pernah menghukum pelaku lesbianis pada zamannya.
Al-Quran Mengafirmasi Lesbian?
Sebaliknya, eksistensi lesbian cukup kuat terdeteksi dalam QS. 24:60.
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاء اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحاً فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (1051) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana. (1051) Maksudnya: pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat”.