Setelah semua penulis mendapatkan suntikan motivasi dari penulis hebat, kami disambut dengan sajian hidangan seafood udang yang menggugah selera. Saking nikmatnya, lupa tidak terfoto. Hehehe. Tapi dalam hati memang bersorak ria karena belum sarapan pagi. Pak Askur seperti tahu saja nih kalau saya belum "nyarap". Ambu Tini dan Bu Fitri pun sepertinya senasib dengan saya, karena pas mau beli bubur di Kampung Malangnengah, eh buburnya habis. Jadi Cuma beli makanan ringan berupa roti beserta camilan lain seperti kuwaci. Tak lupa air putih mineral takut kehausan saat berpetualang nanti.
Usai menyantap hidangan yang disediakan Pak Askur, kami baru diajak untuk mengeksplorasi etnis baduy. Di mulai dari berfoto di tugu selamat datang di terminal Ciboleger, di depan plank pintu masuk Suku Luar Baduy, dan di depan pintu masuk Baduy Luar.
Saat tiba memasuki pintu masuk Baduy Luar, kami melihat beberapa poster seperti tamu wajib lapor mengisi buku tamu dan 23 tata tertib saat pengunjung memasuki Suku Baduy.
 Ada sarana mencuci tangan yang sudah disiapkan dipintu masuk da nada plank yang berbunyi, "MENJADI BIJAKSANA ADALAH DENGAN MENJAGA LINGKUNGAN INI TERBEBAS DARI SAMPAH." Hal ini berati, semua pengunjung dilarang membuang sampah sembarangan dan menjaga kelestarian alam. Sehingga mewakili motto hidup pikukuh Baduy, "Gunung ulah dilebur, alam ulah dirusak," yang artinya gunung jangan dihancurkan dan lembah sebagai penampung air itu jangan dirusak.
 Ada tiga istilah yang digunakan di sini yaitu luar baduy, Baduy luar, dan Baduy dalam. Saat Pak Askur berada di depan batas Kp. Kadu Ketug 1, itu artinya kita berada di luar Baduy atau di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saat kita menginjakan kaki di Kp. Kadu Ketug 1, itu artinya kita sudah memasuki etnis Suku Baduy Luar.
Di Kp. Kadu Ketug 1 mulai terlihat pemukiman penduduk dengan istilah Nyulah Nyanda ( Menghadap ke Utara Selatan) dengan filosofi semakin ke Selatan semakin suci. Atap rumahnya terdiri dari ijuk, penyangganya dari tihang kayu, dindingnya berupa bilik dari bambu, sudah memiliki pintu dari kayu dan memiliki gagang pintu. Dinding bilik bamboo sebagian dipernis sehingga berwarna dan tidak memiliki jendela. Masak masih menggunakan kayu bakar dan tanpa cerobong asap dengan harapan asap dari kayu akan menguatkan penyangga rumah dan mengusir serangga/ rayap. Rumah adat berupa rumah panggung sebagai sarana pergantian udara karena rumah tidak memakai jendela. Istilahnya ada  golodog(pijakan), sosongko(teras), dan imah.Â
Kalau di baduy dalam, rumah adat baduy harus satu pintu yang berarti istrinya harus satu dan tidak boleh berpoligami, kecuali istrinya meninggal maka bolehh menikah lagi.
Setelah itu Pak Askur melihat satu muridnya, Nunuz. Blogger Jakarta yang mendapat gelar doktor S3 karena melakukan riset mengangkat etnis Baduy. Kami lalu berfoto bersama.
Di Kp. Kadu Ketug 1 ada satu rumah yang posisinya lebih tinggi yaitu rumah Kepala Desa Kanekes yang bernama Jaro Saija. Rumah dinas tersebut dibuat lebih tinggi dengan filosofi semakin tinggi rumah, berarti jabatannya lebih tinggi. Usai mengunjungi rumah dinas Jaro Saija, petualangan dilanjutkan ke Kp. Cipondoh. Di sana, kami melihat para ambu(wanita dewasa/sudah menikah) menenun kain sambil menawarkan jajanannya.