Judul Buku : Zaman Edan ( R.Ng Ronggowarsito )
Penulis : Ahmad Norma
Penerbit : Penerbit Narasi dan Pustaka Promethea
ISBN : (10)979-168-518-5
Ronggowarsito dikenal sebagai pujangga terakhir di Tanah Jawa. Menurut tradisi, Seorang Pujangga itu bukan sekedar seorang penulis melainkan juga memiliki kemampuan dan otoritas menangani persoalan-persoalan dunia spiritual, ia juga haruslah seseorang yang memiliki kemampuan sambegana, kecerdasan dan daya ingat yang kuat, serta nawungkrida kemampuan menangkap dan memahami tanda-tanda alam maupun zaman yang tidak diketahui orang biasa.
Sebenarnya, Ronggowarsito adalah nama sebuah gelar. Bukan nama asli. Ronggowarsito yang kita kenal selama ini adalah Ronggowarsito III yang mempunyai nama asli adalah Bagus Burham. Lahir pada tanggal 15 Maret 1802 dari keluarga yang akrab dengan dunia sastra dan tulisan- sesuatu yang masih langka kala itu- ayahnya bernama Pajangswara atau Ronggowarsito II adalah seorang juru tulis kerajaan. Sedangkan kakeknya bernama Sastronagoro atau Ronggowarsito I adalah pujangga kerajaan. Kakeknya ini memiliki banyak karya tulis diantaranya yang terkenal adalah sasana sunu ( sebuah tulisan tentang etika religius ) dan wicara keras ( berisi kritik terhadap kebobrokan moral para penguasa) setelah tua ia menggunakan nama Yosodipuro II.
Seperti judul buku ini "Zaman Edan" kita seakan menyaksikan bagaimana Ronggowarsito dengan jernih "meramalkan" datangnya kutukan zaman, yang ia namakan "jaman edan" dimana negara yang kehilangan wibawa, penguasa yang kehilangan etika, masyarakat yang kehilangan pranata dan alam yang terus melahirkan bencana.
Menjadi perdebatan publik sampai kini adalah apakah Ronggowarsito benar-benar memiliki kemampuan melihat apa yang akan terjadi? Weruh sakdurunge winarah? Untuk menjawab itu ada beberapa kemungkinan. Pertama, ia memang memiliki kemampuan visi melihat isyarat tentang apa yang akan terjadi. Kedua, ia sebenarnya sedang menceritakan kebobrokan keadaan masyarakatnya yang ia perhalus sebagai ramalan, bukti yang memperuat adalah kakek beliau yang juga seorang pujangga ( Yosodipuro II ) menulis dalam Wicara Keras.
"Jika tidak demikian, pasti tertukar iblis, ketika ibunya bersenggama dengan bapaknya dulu, setan ikut bersenggama, jika bukan hantu, karenanya bertindak sesat, berlaku bejat, menindas sesama bangsa
Memuja nafsu diri, ingin dipuji sebagai pandai, perempuan lacur tampak bagai bidadari, jika merasa tersinggung sesama bangsa lalu berkelahi, tanpa tenggang rasa mengancam mengintimidasi, apakah akan begitu kalau memang berani
Beraninya dengan bangsa sendiri sampai rela mengorbankan jiwa, biasanya orang yang pemberani seperti Sultan Mangkubumi pertapa dan rendah hati, selalu pandai membawa diri, segala perselisihan dihindari, berkata baik tak pernah menyakiti, sederhana tapi mumpuni, tidak mau memusuhi bangsa sendiri." ( Poerbatjaraka, 1954 )
Ketiga, mungkin juga ia sedang menulis kejengkelan hatinya kepada raja yang berkuasa sebab karir politiknya dihambat. Ia seorang pujangga besar tapi ia tetap hanya berpangkat kliwon carik, pangkat dibawah Tumenggung.
Apakah yang harus dilakukan jika kutukan zaman datang? Saat zaman edan datang? Kita tidak menemukan jawaban atau penyelesaian yang konklusif di tulisannya tetapi ia hanya mengajukan premis-premis dasar, yang tampak terlalu umum dan tampak tidak mengatasi persoalan yang ia uraikan secara sistematis dan rinci. Ia hanya menyarankan agar selalu eling, waspada dan sabar. Artinya pendekatannya lebih ke humanis kemasyarakatan. Bukan revolusioner dan menggebu-gebu. Mungkin saja apa yang dilakukan adalah perjuangan jangka panjang. Ia lebih fokus ingin menyelamatkan sisi spiritual masyarakatnya agar ojo kaget ojo gumunan ojo dumeh. Tambahan ini menurut saya sendiri.
Kelihatannya memang sikap eling, waspada dan sabar inilah yang bisa menyelamatkan masyarakat. Pendekatannya bukan keluar diri tapi ke dalam diri. Ronggowarsito mengajak masyarakatnya melihat ke dalam diri mereka masing-masing. Sikap eling mengajari manusia bahwa jati dirinya adalah makhluk spiritual supaya manusia mendorong dirinya ke sejatinya yang terdalam. Sikap waspada mengingatkan bahwa dorongan nafsu selalu ada dan akan mendorongnya ke pinggir lingkaran eksistensi kesejatian sehingga kewaspadaan harus tetap dijaga. Sikap sabar mendorong manusia untuk menghayati sikap kewaspadaannya supaya bisa menanggulangi bahaya nafsu sehingga sabar layaknya energi dalam perjuangan karena memerangi angkara murka tidak cukup hanya bermodal niat semata.
Seperti kata Lao Tse, "Dengan memahami masa lalu maka engkau akan menguasai masa depan" ( Nasr, 1984 ) maka memang perlu kiranya kita belajar sejarah-sejarah masa lalu. Sejarah peradaban kita sendiri. Dan kali ini kita akan menggali sedikit dari Ronggowarsito.
Karya beliau ini aslinya berbentuk tembang dengan guru lagu ( persajakan ) dan guru wilangan ( jumlah suku kata ) yang sistematis sedangkan penerjemahannya dilakukan dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti dan bukan dalam bentuk syair. Saya menyajikan hanya beberapa bait saja. Di buku ini lebih banyak. Dan saya tidak akan mecoba menjelaskan. Tujuannya supaya kita bisa belajar memahami kata -- kata itu untuk kita resapi, pelajari dan hikmahi masing-masing.