Tahun 2019
Malam begitu sepi dan bintang kerlap- kerlip di mataku, angin malam terus berhembus. Aku terbaring santai di atas puncak Gunung Rinjani. Menikmati kemegahan semesta dan membuat diri tersadar bahwa manusia tidak ada apa-apanya. Sangat naif sekali kalau manusia berani sombong.
Tahun 2006
Semenjak Alina pergi dari kehidupanku saat SMA, semua seakan terhenti. Aku tidak bisa memetik cinta yang tertanam pada beribu anggun wanita. Mungkin salahku yang meninggalkannya. Karena ekonomi bapak yang pas-pasan, keluargaku memutuskan memindahkanku ke sekolah yang lebih murah biayanya.
Cinta masa mudaku menggelora, walau jarak yang jauh suatu hari aku memberanikan diri ingin menemui Alina. Dasar aku yang malu dan gugup ketika bertemu dengannya, aku mengirimkan surat cinta saja, ku meminta tolong teman untuk menyampaikan padanya.
Mungkin cinta bisa kadaluarsa, bukannya kabar gembira yang aku dapat. Kata penyampai surat, Alina tidak sudi melihatku lagi. Bahkan ia merobek suratku.
Aku terdiam dan berdiri agak lama. Hatiku sakit seakan dicabik-cabik dari dalam. Semenjak hari itu aku sudah tidak merasakan adanya cinta lagi.
2019
Di atas puncak Gunung Rinjani, tiba-tiba ada segerombolan pendaki yang baru sampai. Seperti biasa saling sapa sekedar basa basi. Namun diantara mereka, aku melihat sesosok yang tidak asing. Aku bertemu teman sebangku saat SMA, dia adalah Imron. Ketua kelas kami.
Aku dan Imron berpelukan, saling tanya kabar dan keadaan. Imron kini bekerja sebagai Konsultan Perusahaan besar di Jakarta,
"Udah lama sekali sejak tahun 2006. Bagaimana kalau kita mengadakan reuni. Untung aku masih nyimpan semua kontak teman-teman, alhamdulillah tidak aku hapus. Kamu setuju?" Tanya Imron