Pada malam bising ditengah arus laju mobil yang salip menyalip  dan keramaian ibukota yang megah dengan gemerlap lampu yang menyala  indah , sesekali teriakan pesakitan menjalar ke sekujur tubuh pada lelaki sang pewaris tahta perusahaan batubara. Ia boleh saja menikmati dunia. Kadang ia bercinta dengan wanita yang baru ia kenal, lain hari ia mabuk anggur di bar yang juga miliknya. Entah kenapa surga dunia yang ia miliki justru semakin melubangi hatinya. Ada longlongan kesedihan yang kian membuncah walau ia menepisnya dengan berkali-kali ke sana ke mari. Keliling dunia.
Di kegelapan malam ia berjalan sempoyongan di tandu teman kencan. Tiba-tiba segerombolan preman datang merebut paksa lelaki itu untuk kemudian dibawanya kabur menggunakan mobil yang sudah dipersiapkan. Teriakan tolong percuma sebab kesepian dini hari sudah datang.
Segerombolan preman yang memakai topeng lorek-lorek membawa pistol dan belati. Lalu kabur ke tempat persembunyiannya.
Malam semakin mencekam. Di tengah kesadarannya lelaki ini diancam akan dibunuh. Ditaruhnya pistol dengan pelatuk siap ditekan pada jidat yang penuh keringat ketakutan.
"Bocah tengik! Cepat telepon bapakmu. Suruh bawa uang 500 juta jika ingin kau selamat. Cepat!" Sergah salah satu dari gerombolan preman dengan nada membentak
Tanpa berfikir panjang ia langsung menelepon bapaknya sang konglomerat batubara.
Dasar keluarga mata duitan. Bunyi telepon yang berdering tak digubrisnya. Kepalanya sudah terlanjur pusing dengan urusan bisnis yang akhir-akhir ini semakin berat. Banyak ativis yang ingin membunuh pekerjaannya, walau ia sudah bersembunyi dibalik timses salah satu calon presiden. Kekalahan pemilu hanya akan menggugurkan keuntungannya. Salah satu caranya adalah menyebarkan berita propaganda kesantunan. Rakyat dibuat debat dipermukaan, sedangkan dari dalam ada persaingan bisnis multinasional batubara.
"Bajingan ! Bapakmu setan ! Baru kali ini ada konglomerat yang tidak perduli dengan anaknya sendiri. Fermando, Potong kaki kiri bocah tengik ini tapi jangan sampai mati lalu kita kirimkan kaki kirinya ke bapaknya yang sombong !" Ucap  salah satu pentolan gerombolan preman
Sekujur tubuh lelaki itu merinding ketakutan. Keringat bercucuran deras. Jantungnya berdetak semakin cepat menuju detik-detik pemutilasian kakinya. Ia memberontak, tangannya diborgol. Ia mengerang kesakitan. Daging siap digergaji.
Seseorang pria berkaca mata berdiri dari pembaringannya, lalu mematikan tivi. Ia ketakutan. Ia muntah melihat kejadian itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H