Betapa misteriusnya sajak ini. Apa maknanya? Gerangan apa pembuat sajak membuat sajak ini? Apa maksudnya Anjing bercinta denga rubah? Anjing berwarna kuning? Rubah berwarna bening lautan? Pangeran kurcaci? Sebongkah kotoran babi? Seribu mata buta arah?
Sungguh membikin penasaran. Mendebarkan. Memusingkan kepala. Apakah maksudnya semua itu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghujani kepalaku dan aku kini dituntut memecahkan hanya semalam!
Aku tulis saja kata-kata itu di internet berharap akan muncul pemilik asli sajak. Aku tersenyum tipis karena meyakini benar bahwa tugas ini sangat mudah. Tinggal tulis kata maka beres. Begitulah Peradaban Maya yang kini manusia hidup didalamnya.
Dan ternyata sangkaanku salah besar. Kata-kata itu tidak ada di internet. Bahkan setelah aku terjemahkan ke Berbagai bahasa juga tidak ditemukan.
Di Era Internet sekarang ini yang informasi telanjang di depan mata kita lewat piranti komputer, laptop ataupun gadget ternyata masih tersimpan jutaan misteri yang tidak bisa dipecahkan hanya bermodalkan internet. Orang memberhalakan internet melebihi apapun sampai-sampai bisa dikalkulasi bahwa meyakini internet adalah otak Tuhan. Orang lebih gandrung membaca informasi-informasi tekstual yang sebenarnya secara batin benar-benar tidak dibutuhkannya. Kecuali, hanya beberapa informasi seputar berita harian, jadwal bola ataupun jadwal ceramah ustadz-ustdaz. Kitab Suci disimpan dalam lemari kaca yang kacanya penuh dengan debu akibat sangat jarang dibuka.
Sudah lima jam lamanya aku cari dan tampaknya memang benar-benar tidak ada di internet. Aku cari di kumpulan rak-rak buku puisi juga tidak menemukan. Marah dan frustasi. Hampir mendekati stress. Padahal besok pagi aku harus menyodorkan kesimpulan dan menemukan siapa sebenarnya pembuat sajak tak bertuan bajingan ini.
"Bangsat! Kalau begini mah tidak bisa ditemukan. Jam juga sudah pukul 2 malam. Ini bagaimana. Oh Tuhan... Please.. Bantu aku." Ucapku
Tiba-tiba aku ingat dengan Kakek Maestro Sastra di Kotaku. Jarak dari tempatku hanya 2 km, tentu aku bisa mengejarnya. Setidaknya jangan sampai melebihi waktu subuh. Bertamu melebihi tengah malam memang kurang ajar tetapi sudah kadung mentok, aku tidak memperdulikan anggapan kesantunan ini. Daripada kena omel bos, tentu itu lebih menakutkan bagiku.
Aku berangkat kesana menggunakan mobil. Cepat-cepat. Kakek Maestro Sastra ini memang bukan orang biasa bukan juga orang yang luar biasa. Bahkan secara tampilan dan pekerjaan kebanyakan orang awam tidak akan tahu bahwa ia adalah maestro sastra. Lha wong pekerjaan sehari-harinya adalah memulung dan tinggal di sebuah kontrakan tiga petak.
Dari luar kontrakan orang-orang hanya melihat kumpulan kardus-kardus bekas dan ratusan kemasan air minum yang sudah dikantongi plastik. Tetapi kalau kita masuk ke petak itu kita akan tercengang melihat bahwa buku-buku hampir memenuhi tiga petak itu. Buku-buku disana memang bukan buku biasa. Kumpulan buku sastra dunia! Bahkan petak terakhir kamar mandi dan toilet juga diisi dengan buku. Memasuki petak itu kita akan merasa sempit sebab kira-kira hanya ada 3 X 3 Meter ruangan itu kosong. Itupun ada kardus kecil berisi baju-baju dan gelas serta piring. Aku menghitung hanya ada tiga baju oblong, satu kemeja lengan pendek sudah lusuh, empat celana panjang dan masing-masing tiga gelas dan piring. Sangat sederhana bahkan jika dibandingkan dengan kehidupan bosku, Kakek ini bagai bumi dan langit.
Kalau ukuran dunia mungkin seperti itu, tetapi kalau mau sebenarnya Kakek ini bisa saja jadi Menteri bahkan Presiden. Ia menguasai enam bahasa yakni bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Jerman, Bahasa Jepang, Bahasa Mandarin dan Bahasa Indonesia tentunya. Menguasai sejarah dan sastra dunia. Baik sastra Melayu, Arab, Cina, Inggris dan Persia.
Anehnya Kakek ini tidak marah kepadaku. Padahal aku berkunjung dini hari.
"Kek, maafkan saya berkunjung dini hari mengganggu istirahat Kakek. Saya punya masalah ini Kek. Saya disuruh bos saya mencari pemilik sajak tak bertuan dalam amplop ini. Sudah aku cari di perpustakaan dan internet tetapi belum ketemu. Barangkali kakek tahu tentang sajak ini." Ucapku sambil menyodorkan amplop berisi sajak empat baris itu.