Dangdut zaman dulu penuh keseriusan, cengkok, dan juga syarat dengan makna. Entahlah hari ini nasib dangdut sudah membingungkan misalnya goyang yang judulnya diberi nama kejadian kata yang hits menjadikan suara ajimumpung bahan kreativitas serta lirik yang senonoh menghilangkan kualitas lagu itu tetapi kembali ke pasar.Â
Jika pasar demikian yang laris bisa ditebak mental dan keinginan kita hari ini maka dengan jujur saya katakan ironis dengan reality dangdut yang satu lagu komentarnya satu jam atau lebih menjadikan lautan tawa yang akhirnya menihilkan makna pribumisasi dangdut padahal dulu kala Sang Raja dangdut menjadikan musik ini sebagai bahan dakwah tetapi hari ini dunia terbalik.
Musik ala punk yang katanya tampilan setan malah menampilkan lirik dan semangat perjuangan meskipun berangkat dari akar rumput yang ada saja salah persepsi makna punk itu sendiri.
Dulu musik dangdut dibilang musik ndesa tetapi hari ini dangdut sudah melekat sekali sebagai harmoni suara rakyat. Musik semacam pop, rock , jazz, dll kelihatannya hanya pasrah menularkan muatan pada apa yang dicintai saja sebab pasar sudah berubah demikian juga semangat mendengarkan musik dari vynil, tape recorder, vcd MP3 sampai selamat datang zaman digital yang merubah cara mendengarkan musik menandakan revolusi musik begitu wantah dengan corak yang justru menggelikan sebab hari ini satu lagu bisa cepat sekali membosankan karena arus deras lirik-lirik simpel yang bukan hanya cepat diingat tetapi juga cepat membosankan.
Apalagi semangat lirik lagu itu juga kelihatannya jebol dengan nada-nada yang kurang berestetika karena condong menjual kata hits yang menjadikan musik sebagai jualan semata. Disini jauh sekali mana itu musisi mana itu seniman mana itu jualan suara. Meskipun goalnya dagang suara tetapi muatan strategi dan cara pandangnya tentu berbeda sangat jauh.
Tetapi kembali ke telinga, agaknya akhir-akhir ini musik hanya dijadikan sarapan kecil sementara gosip dan pesta tawa menelan mentah-mentah musik itu sendiri. Wajah baru, audisi baru dan show baru akan terus berdatangan sedangkan musik hanya dijadikan sempilan dan slilit yang enak kalau makannya pakai piring tawa, sendok gosip, serta tangan-tangan pelaku settingan dan sensasi.
Atau jangan-jangan musik kini sebagai hiburan suara mantra pengantar tidur sehingga menghabiskan malam hari sebagai media mematung diri dengan kemalasan akibatnya berbanding lurus dengan tingkat produktifitas kerja yang menurun akibat begadang berdendang yang kebablasan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H