Selamat siang, Andini. Inilah surat pertama yang aku tujukan hanya kepadamu. Bacalah disaat kamu sendirian. Bacalah bersama keheningan malam nanti. Bersama ini juga aku kirimkan kerinduan yang amat sangat kepadamu.Â
Sejauh perjalanan duniaku, sepanjang jalan aku arungi dan setinggi harapan aku raih, semuanya itu tidak bisa menggantikan kenangan yang indah bersamamu. Jangan cerita kepada siapapun juga, sebab sepucuk surat ini hanya aku tujukan padamu seorang.
Oh iya! Satu pesanku, kamu jangan rindu kepadaku. Rindu itu menyenangkan tetapi juga mematikan. Rindu itu kehangatan tetapi juga bisa membakar rasa. Jadi, biar aku saja yang menanggung kerinduan ini. Biar aku saja yang terpanggang oleh panasnya kerinduan ini.
Kita memang tidak pernah bertemu dengan kelengkapan raga, tapi aku pernah melihat sosokmu saat kamu sedang bersepeda menuju sekolahan. Kerudung merahmu membakar amarahku sedang senyummu bagai lelehan es yang setiap saat bisa menenggelamkanku pada asmara.
Mungkin aku sangat lebai ya Andini. Tidak kok, aku tidak lebai, sebab meskipun kita tidak bertemu tatap muka bahkan SMSan pun jarang tetapi disetiap malam aku diam-diam mendo'akan kebahagiaanmu.Â
Adakah yang lebih indah selain do'a kekasih disepertiga malam hanya demi kerinduan pada kekasihnya. Maka izinkan aku mendo'akan untukmu dan jangan kau larang-larang aku sebab itulah kado terindah yang aku persembahkan untukmu.
Andini, ingatkah kamu. Kamu adalah perempuan yang ajaib. Setidaknya itu pikirku, sebab kamu dengan bangga menjaga kehormatanmu tidak mau pacaran. Tidak mau berduaan dengan lelaki. Bagiku itu layaknya bidadari yang turun ke bumi yang hanya orang bertaqwalah yang mampu menyentuhnya.
Kamu pernah aku ajak main ke pantai. Menikmati senja sore. Hembusan angin yang menembus ulu hati. Kadang-kadang burung lewat dengan manja. Atau bunyi pecah air yang membentur batu laut. Nelayan yang dengan sangat rajin melempar jaringnya.Â
Atau perempuan-perempuan perkasa yang dengan semangatnya menenteng jajanan jualannya. Bagiku, itu semua sangat membekas dalam hati. Bahkan aku sering memimpikan hari itu.
Padahal kamu tidak melihat sosokku.
Bukannya aku takut mendekatimu. Atau sekedar mengucapkan salam. Sebab keajaibanmulah aku memang tidak mau berniat dekat-dekat denganmu. Hingga akhirnya kamu istrihat di mushola pantai. Kamu sedang asyik bercengkrama dengan teman-teman perempuanmu.
Tahukah kamu, dibalik dinding mushola itu ku kirimkan do'a-do'a bersama serpihan hati ini yang tersayat kerinduan melihatmu. Entah kenapa kamu bagai intiku. Setiap aku melihat keindahan, aku ingat kamu. Setiap aku mengerjakan sesuatu, bayanganmu menyelinap dipikiranku.