Mohon tunggu...
Mohammad Sholehuddin
Mohammad Sholehuddin Mohon Tunggu... -

Simple,Serious,Easy Going

Selanjutnya

Tutup

Nature

Reforma Energi, Strategi Meraih Ketahanan Energi Terbarukan di Indonesia

3 November 2013   17:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:38 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Mohammad Sholehuddin Hambali

(Mahasiswa Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya)

Dewasa ini, pemanfaatan energi terbarukan menjadi agenda penting di banyak negara dunia tak terkecuali Indonesia. Hal ini sebagai tindakan preventif atas krisis energi yang melanda dunia. Sebagai negera kepulauan yang memiliki banyak potensi energi terbarukan, upaya membangun ketahanan energi terbarukan di Indonesia bukanlah utupia belaka. Namun demikian, apapun upaya yang tawarkan hanya akan menjadi sia-sia belaka tanpa dibarengi upaya mengurangi akar masalah ketahanan energi terbarukan di Indonesia. Andaipun para ahli teknologi dan pemerintah Indonesia menawarkan kebijakan yang solutif, perlu dipertanyakan sejauh mana mereka memahami konteks persoalan yang ada. Dengan demikian, hal itu menjadi prasyarat agar kebijakan yang ditawarkan tidak asal “jalan” dan “comot” dari pengalaman sukses negara lain tanpa kejelasan konteks permasalahan.

Merunut Akar Permasalahan Ketahanan Energi Terbarukan di Indonesia

Teknologi canggih dan temuan baru energi terbarukan sudah sering diajukan sebagai jawaban atas permasalahan ketahanan energi terbarukan di Indonesia. Namun, hingga kini pemanfaatan energi terbarukan masih menjadi energi minoritas di negeri yang kaya potensi energi terbarukan ini. Setidaknya ada tiga aspek utama dalam memahami dinamika politik energi. Aspek pertama adalah minimnya insentif dari pemerintah terhadap pemanfaatan energi terbarukan (BPPT Outlook Energi Indonesia, 2012). Minimnya insentif menyebabkan pengembangan energi terbarukan seakan dianaktirikan. Lanjut BPPT melaporkan bahwa di tahun 2015 peran energi terbarukan kurang dari 20% dari total penyediaan energi Indonesia.  Sulit kiranya meraih ketahanan energi terbarukan di tengah minimnya insentif dan laporan dari BBPT telah meyakinkan kita terhadap asumsi tersebut.

Kedua, aspek inkonsisten dalam melaksanakan agenda ketahanan energi terbarukan. Pembangunan sektor energi terbarukan bukan lagi hal baru, contohnya pembangunan PLT Bayu/Angin di Nusa Penida Bali. Kini, proyek mercusuar tersebut mangkrak dan tak terurus ( Balipost, 2013). Balipost juga melaporkan bahwasanya eksistensi PLT Bayu yang notabene menjadi harapan masyarakat akan ketersediaan energi listrik kini menjadi ancaman karena membahayakan keselamatan warga akibat tiang penyangga yang sudah rapu dan karatan. Kenyataan tersebut semakin memperjelas momok yang mengharuskan kita berpikir berulang kali : seberapa serius kita konsisten menjalankan agenda ketahanan energi terbarukan di negeri ini.

Sentralisasi pengadaan energi adalah aspek ketiga dalam memahami permasalahan ketahanan energi terbarukan di Indonesia. Pengadaan energi secara tersentral oleh industri energi dalam hal ini BUMN seperti PLN dan Pertamina bukanlah pilihan tepat di saat cadangan energi primer Indonesia mulai terkuras habis dan keterkaitan BUMN tersebut di dalam birokrasi yang rumit. Misalnya listrik, produksi listrik di tahun 2012 sebesar 149.783 GWh dari total 200.291 GWh adalah produksi PLN dengan mayoritas dari PLTU Batu Bara (ESDM, 2012). Angka-angka tersebut melukiskan hidup-matinya energi Indonesia benar-benar tersentral atau dengan kata lain Indonesia belum mandiri dalam hal pengadaan energi listrik berbasis energi terbarukan.

Tawaran Strategi Meraih Ketahanan Energi Terbarukan

Ketahanan energi terbarukan bukan semata-mata mengenai sebarapa canggih teknologi yang digunakan dan seberapa banyak temuan baru energi terbarukan, melainkan inovasi teknologi tepat guna dan kepedualian pemerintah serta partisipasi masyarakat di dalamnya. Dalam konteks pelaksanaan reforma energi terbarukan, ada tiga langkah strategis yang patut dilaksanakan secara beriringan satu sama lain. Pertama, optimalisasi inovasi teknologi tepat guna. Sementara itu, langkah kedua adalah konversi subsidi energi menjadi teknologi. Mendorong laju desentralisasi produski energi sebagai langkah ketiga.

Optimalisasi Inovasi Tepat Guna

Salah satu titik tekan agenda reforma ketahanan energi terbarukan adalah mengoptimalkan teknologi berbasis energi terbarukan  yang sudah ada melaui inovasi tepat guna. Sebagai negara kepulauan yang terletak di garis khatulistiwa, energi matahari dan angin merupakan energi terbarukan yang tepat untuk terus dikembangkan. Pemanfaatan energi matahari dengan sel suryabergerak dan energi angin dengan PLT angin vertical axis wind turbine adalah solusi inovasi teknologi tepat guna yang mesti diterapkan di Indonesia.

Secara teknis, sel surya bergerak dinilai lebih efisien dari padasel surya yang umumnya banyak digunakan saat ini. Sel surya bergerak beroperasi mengikuti posisi matahari sepanjang harinya. Inovasi ini menyebabkan penyerapan energi matahari dengan luas penampang sel surya tetap terjaga konstan. Kondisi matahari yang terus bersinar sepanjang tahun di sepanjang daerah Indonesia menempatkan sel surya bergerak sebagai solusi yang patut dilirik. Inovasinya pun sederhana yakni dengan menambahakan unit penggerak agar posisi penampang sel surya selalu menghadap pada matahari. Dengan demikian, energi terserap saat pagi hari dengan sore hari akan menemui titik ekuivalen.

Sejatinya, Indonesia tidak memiliki kontinuitas angin sebaik negara-negara Eropa yang sudah banyak menerapkan PLT Angin sebagai tulang punggung energi listrik mereka. Dengan kondisi rata-rata kecepatan angin Indonesia yakni 3-5 m/s (Pusat Meteorologi dan Geofisika, 2000), pemanfaatan angin menggunakan PLT Angin dengan teknologi vertical axis wind turbine adalah tindakan yang tepat. Teknologi ini cukup sederhana yakni dengan memodifikasi bentuk blade. Tujuannya untuk meningkatkan efisiensi daya output akibat adanya kondisi saturasi pada PLT Angin dengan blade biasa.

(PLT Angin dengan Vertical Axis Wind Turbine :http://visual.merriam-webster.com)

Sekali lagi, optimalisasi bukan berarti menemukan temuan baru energi terbarukan, namun memaksimalkan teknologi dan energi terbarukan yang pernah dan sedang digunaka serta terhampar melimpah sepanjang daerah Indonesia. Tidak dapat dielakkan lagi bahwasanya pemanfaatan energi terbarukan juga berpacu dengan waktu menipisnya ketersediaan energi primer Indonesia. Andai kita masih saja sibuk meraba-raba energi terbarukan yang lain, tidak menutupkemungkinan kita akan menemui jalan buntu di masa mendatang. Oleh karena itu, langkah konkrit yang dapat kita lakukan adalah mendorong pelaksananaan optimalisasi inovasi tepat guna pada teknologi berbasis energi terbarukan yang sudah ada dengan turut menggandeng instansi yang memang mumpuni seperti BPPT dan LIPI.

Konversi Subsidi Energi Menjadi Teknologi

Meraih ketahanan energi terbarukan juga harus dilakukan dengan jalan konversi subsidi energi menjadi teknologi.  Selain kurang optimalnya inovasi tepat guna, pengembangan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia juga dihadapkan dengan adanya subsidi energi yang menciptakan masyarakat konsumtif dan tak terkendali dalam “memakan” pasokan energi terbatas yang ada. Sudah seharusnya kebijakan menciptakan kebijaksanaan. Bingkai pemikiran yang dibangun bukan seberapa aman APBN, namun seberapa aman pasokan energi di masa mendatang karena energi langsung menyangkut hajat orang banyak. Apapun alasan eksekutif memangkas subsidi energi terutama BBM, bijaknya pemangkasan itu dialihkan untuk menggairahkan kembali pemanfaatan energi terbarukan di negeri ini. Kongkritnya, subsidi energi dialihkan untuk produksi sel surya bergerak dan PLT angin vertical axis wind turbine serta implementasinya secara nasional. Paling tidak kebijakn itu bisa menjadi harapan lahirnya era baru pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Pengalihan anggaran berupa subisidi energi menjadi teknologi akan mampu menciptakan penghematan energi skala besar karena konsumsi energi listrik yang notabene mayoritas diproduksi dari fosil berkurang. Namun demikian, konversi subsidi ini harus dikawal dengan komitmen dan konsistensi yang kuat dari pemerintah dan instansi terkait.

Desentralisasi Produksi Energi

Desentarlisasi produksi energi dilakukan untuk deversifikasi produsen energi, semisal listrik. Kebijakan prouksi dan implemtasi sel surya bergerak dan PLT angin vertical axis wind turbine secara nasional adalah wujud nyata upaya desentarlisasi produksi energi di bidang ketenagalistrikan. Upaya ini bukanlah hal baru. Austarlia telah mampu menciptakan desentarlisasi produksi energi listrik dengan manjadikan masyarakat sebagai produsen listrik. Dengan subsidi yang diberikan pemerintah, masyarakat Australia tidak enggan untuk turut mensukseskan kebijakan cerdas itu. Kebijakan tersebut juga menempatkan masyarakat sebagai pelanggan sekaligus produsen energi sehingga transaksi jual-beli energi terjadi dalam dua arah, antara masyarakat dengan pemerintah yang diwakili oleh industri listrik Australia.

Namun demikian, optimalisasi kebijakan tersebut perlu dilakukan seiring dengan minimnya animo masyarakat terhadap teknologi energi terbarukan. Pemerintah juga mesti memperhatikan aspek sosio-kultural masyarakat Indonesia. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang awam dengan teknologi energi terbarukan, budaya latah atau ikut-ikutan menjadi faktor penghambat suksesnya kebijakan tersebut. Sejatinya, pemerintah mesti mampu membuat masyarakat percaya bahwa menggunakan teknologi energi terbarukan adalah suatu keuntungan, tidak hanya bagi pribadi tetapi juga untuk Indonesia sebagai negara yang terancam krisis energi. Melalui pendekatan dan sosialisasi yang baik, tentu harapan itu tidak hanya akan menjadi mimpi belaka. Budaya latah dapat menjadi katalis kebijakan desentralisasi produksi energi jika kunci sukses sosialisasi dan pendekatan diperoleh pemerintah. Satu masyarakat tentu akan mengikuti masyarakat lainnya jika mereka telah melihat suksesnya desentralisasi produksi energi yang dirasakan masyarakat tersebut.

Simpul Wacana

Ketahanan energi terbarukan bukan semata-mata persoalan teknologi canggih dan temuan baru energi terbarukan. Realisasi meraih ketahanan energi terbarukan juga mensyaratmutlakan optimalisasi inovasi tepat guna terhadap teknologi energi terbarukan yang sudah ada dan kepedulian pemerintah serta partisipasi masyarakat. Sibuk meraba-raba energi terbarukan lainnya dan tidak konsisten pada kebijakan yang dibuat sama saja mempercepat datangnya krisis energi Indonesia di masa mendatang. Dengan demikian, upaya merealisasikan ketahanan energi terbarukan mesti dilakukan dengan misi reforma energi untuk menata ulang upaya dan kebijakan yang ada. Inovasi teknologi, konversi subsidi energi menjadi teknologi, dan desentralisasi produksi energi dengan sendirinya akan mampu merealisasikan ketahanan energi terbarukan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun