[caption id="attachment_151781" align="alignleft" width="240" caption="Image from http://omdhe.multiply.com/photos/album/144/Apa_Maksud_Gambar_Ini_"][/caption] Mampu atau tidak..? Benar atau salah..? Mau atau Tidak...? bolehkah kita yakin bahwa mimpi dan harapan ini akan menjadi suatu kenyataan..? Pertanyaan- pertanyaan mengenai suatu keyakinan atas apa yang akan terjadi atau kemampuan untuk berbuat sesuatu, dan keinginan untuk berharap. Apakah pertanyaan ini akan menjadi sesuatu yang tak terdeteksi, dan tak terpetakan. Suatu pertanyaan tentang nilai suatu keyakinan, kemampuan, ataupun tindakan namun kadang tak bisa diidentifikasi nilainya seperti mengidentifikasi angka 1 tetap 1 bukan 2 ataupun 3. Namun karena adanya persepsi bahwa keyakinan adalah suatu yang ambiguitas membuat jawaban yang didapatkan menjadi suatu asumsi atau mimpi belaka. Pertanyaan-pertanyaan seperti itupun menggelitik pikiran saya ketika membaca berbagai tulisan para kompasioner mengenai kepedulian mereka mengenai perkembangan bangsa tercinta ini. Dari suatu keyakinan akan kemampuan kita membangun industri otomotif secara mandiri, keyakinan terhadap kualitas intelektualitas SDM kita, Keyakinan terhadap kemampuan pengolahan sumber daya alam secara mandiri, dan Kemampuan membuat suatu organisasi yang akan membawa suatu kebahagian kepada anak-anak Indonesia. Apakah suatu Keyakinan yang dimiliki diatas bisa menjadi suatu nilai yang dianggap benar? Sejak dahulu telah dikembangkan penghitungan/pemetaan terhadap suatu nilai-nilai dan tindakan sosial, bahkan rumor-nya ketika saya berdiskusi dengan alumni2 salah satu universitas ternama di Bandung, bahwa pemecahan konflik Aceh dan Poso pun karena nilai -nilai sosial, perkataan, dirumuskan dalam suatu metode matematis, sehingga dalam pendekatan/komunikasi kepada pihak yang berkonflik sudah diketahui kemungkinan (probability) yang bakal terjadi. Dalam kata lain pola komunikasi yang akan dibangun telah diketahui probabilitasnya sehingga bisa dilakukan suatu konsep pendekatan yang tepat dan berbeda dalam memenuhi ekspetasi atau keyakinan mereka (pihak yang bertikai) tanpa menimbulkan suatu kecurigaan ataupun konflik. Pola pendekatan sosial secara matematis memang bukan suatu hal yang aneh, karena hal inipun pernah penulis kembangkan dan implementasikan di Aceh dan Nias setelah Tsunami menggunakan IRAP approach, yang menghitung nilai suatu persepsi masyarakat tentang hal-hal penting yang harus dikerjakan menjadi suatu skala prioritas dalam mengambil suatu keputusan mengenai rehabilitasi dan rekonstruksi tanpa menimbulkan kecemburuan antar masyarakat dan dalam rangka menyiasati penggunaan dana yang ada. [caption id="attachment_152079" align="alignleft" width="134" caption="Rumus EVT oleh Martin Fishbein"][/caption] Berdasarkan suatu keyakinan terhadap suatu nilai/persepsi dalam lingkungan sosial bisa diperhitungkan atau diprediksi, hal inilah mungkin yang membuat seorang Martin Fishbein pada awal hingga pertengahan tahun 1970an mengembangkan suatu pengukuran terhadap ekspetasi atau keyakinan dalam Expectancy-Value Theory (EVT) yang bermaksud untuk menjelaskan dan memprediksi sikap individu terhadap suatu objek dan tindakan dimana suatu attitudes dikembangkan berdasarkan penilaian akan keyakinan dan nilai-nilai. Rumus EVT digambarkan oleh Martin Fishben seperti gambar di samping. Dalam Theory ini pun dijelaskan bahwa besar atau tidaknya hasil ekspetasi/keyakinan akan sesuatu tergantung dari bagaimana kita menilai objek tersebut dan bagaimana hasil evaluasi (tanggapan) terhadap objek tersebut. Apa hubungannya dengan benar atau salah?, mau atau tidak?, mampu atau tidak mampu. Ini yang menarik, berdasarkan pendekatan EVT diatas suatu tindakan akan diambil tergantung dari keyakinan itu sendiri dan dipengaruhi oleh tanggapan dari luar, dan jika tanggapan dari luar itu bernilai positif terhadap suatu keyakinan maka keyakinan itu nilainya akan semakin besar dan akan mendorong kita untuk mengambil suatu tindakan untuk mewujudkan keyakinan tersebut. Contoh kasus, Jika kita mengatakan kita mampu membuat mobil nasional seperti yang sering diungkapkan oleh saudara Freeza di artikelnya, mampu mengelola SDM kita dengan lebih baik, mampu mengelola suatu organisasi mencapai misinya, mampu mengelola kemiskinan dengan paradigma baru, mampu mewujudkan Proud To Be Indonesians seperti yang diungkap Bung Joseph Timothy, maka tindakan yang akan dilakukan pun akan mengarah ke keyakinan yang ingin dicapai tersebut. Namun bila kita berkeyakinan bahwa itu semua mimpi di siang bolong, ataupun masih mempertanyakan tentang arti sebuah kebenaran akan suatu keyakinan tentu tindakan yang diambil pun akan bersifat negatif seperti; Tidak menyiapkan segala sesuatu untuk mewujudkan suatu ekspetasi, hanya pasrah dan berharap blessing in disguise, yang pada akhirnya sesuatu yang semestinya bisa dicapai malah menjadi tidak tercapai. Dalam meningkatkan produktivitas, Fred Luthans seorang pakar organizational behavior dalam bukunya yang berjudul Physiological Capital, mejelaskan bahwa kinerja seseorang tidak hanya ditentukan oleh intellectual capital atau social capital namun juga ditentukan oleh apa yang beliau namakan dengan Physiological Capital yang didalamnya terdapat harapan dan optimisme. Dihubungkan dengan apa yang dimaksud Martin Fishbein dan Fred Luthans sangat jelas bahwa harapan dan optimisme terhadap suatu keyakinan akan membuat kita melakukan suatu tindakan yang lebih baik dalam mewujudkan apa yang kita yakini. Dalam ilmu agama pun kita diajarkan untuk meyakini sesuatu yang mustahil (gaib), kenapa sesuatu yang nyata dan terukur tak bisa kita yakini, malah mempertanyakan kebenarannya, dan menganggap kita mimpi di siang bolong? [caption id="attachment_152072" align="alignright" width="300" caption="image from http://tips.sa-people.com/"][/caption] Semua tergantung Keyakinan kita untuk mewujudkan suatu kemungkinan. Karena seperti disimpulkan dari perkataan Albert Einstein mengenai suatu kemungkinan, bahwa satu hal yang pasti di dunia ini adalah ketidakmungkinan itu dan hal inipun didukung oleh Bob Proctor yang berkata “What you see in your mind, you’re going to hold it in your hand” Apa yang dapat engkau lihat di pikiranmu, akan engkau genggam di tanganmu. Ataupun ungkapan Napoleon Hill bahwa “What your mind conceive and you believe, you could achieve” Apa yang kita pikirkan dan bayangkan dan kita yakini, kita bisa mencapainya. Harapan dan Optimisme adalah nilai dari keyakinan. Jadi untuk 8,95 juta pengangguran, 32,57 juta penduduk miskin di Indonesia, dan yang yakin suatu saat kita akan mampu mengatakan Proud To Be Indonesians dengan lantang, jangan berhenti untuk mencapai suatu keyakinan dan tetaplah yakinkan orang - orang di sekeliling kita bahwa "Pasti.. Kita Mampu, Pasti... Mimpi itu akan menjadi kenyataan"sehingga berdasarkan teori Martin Fishben, kita akan mengambil suatu tindakan yang mengantar kita mencapai mimpi kita dan mewujudkan Indonesia yang lebih baik, seperti yang kita yakini. Make it Happen Indonesiaku!!! http://assaoralhaqarsyad.wordpress.com Dipersembahkan kepada Sahabat-sahabatku yang selalu menanyakan kebenaran dari suatu keyakinan dan 8,95 juta pengangguran serta 32,57 rakyat miskin di Indonesia "Tetaplah Yakin dengan Mimpi Anda"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H