Sejak awal, industri kelapa sawit telah memposisikan dirinya sebagai bagian dari solusi pembangunan, termasuk dalam aspek lingkungan. Secara alami, perkebunan kelapa sawit memiliki kemampuan untuk menyerap karbondioksida melalui proses fotosintesis, serta memanfaatkan energi matahari yang diubah menjadi minyak sawit, biomassa, dan menyimpan karbon dalam tanah melalui bios kuestasi. Kemampuan ini menjadikan industri kelapa sawit sebagai elemen krusial dalam upaya global untuk mengurangi emisi karbon. Perubahan iklim dan pemanasan global menjadi akibat adanya peningkatan emisi gas rumah kaca, dimana emisi karbon menjadi gas rumah kaca yang paling dominan di bumi (Oliver et al, 2022). Secara teori, solusi untuk mitigasi perubahan iklim dan pemanasan global memerlukan upaya masyarakat dalam mengurangi emisi karbon dioksida dan meningkatkan penyerapan karbon dioksida kembali.
Indonesia sendiri telah berkomitmen dan ikut berkontribusi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, Komitmen tersebut telah disampaikan dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), yang menetapkan target penurunan emisi sebesar 29 persen (melalui usaha mandiri) hingga 41 persen (dengan bantuan internasional) pada tahun 2030 (Pemerintah RI dalam Sipayung, 2021). Komitmen NDC ini  menjadi bagian strategi Long Term Strategy Low Carbon and Climate Resilience 2050 yang mengatakan bahwa tahun 2060, Indonesia menjadi negara dengan Net Zero Emission (NZE), Dalam mencapai tujuan ambisius ini, sektor energi memainkan peran vital, salah satunya melalui pengembangan biofuel berkelanjutan. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) memegang peranan penting untuk mendukung transisi energi ini melalui pendanaan riset atau pengembangan industri kelapa sawit dalam pengembangan biofuel. Namun, untuk memastikan bahwa kontribusi biofuel benar-benar berkelanjutan, pengadopsian sertifikasi  dalam proses produksi sangat diperlukan. Sertifikasi ini memastikan bahwa biofuel tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan sosial dan ekonomi, tanpa merusak lingkungan dan ekosistem yang ada.
Sertifikasi Biofuel: Kunci Keberlanjutan
Di Indonesia, jumlah sertifikasi biofuel berkelanjutan masih terbilang terbatas, Data BPDPKS menunjukkan luas lahan yang ditargetkan untuk mendapatkan sertifikasi biofuel sebesar 16,38 juta hektar, nyatanya sampai Juni 2021 baru terdapat 5,8 juta hektar atau 35,4% yang sudah mendapatkan sertifikasi (Katadata, 2021), padahal sertifikasi biofuel berkelanjutan memberikan jaminan bahwa seluruh rantai pasokan dilakukan sesuai dengan standar keberlanjutan yang ketat. Oleh karena itu, upaya optimalisasi sertifikasi biofuel perlu dilakukan sehingga target Net Zero Emission bukan sekadar angka, tetapi sebuah transisi yang membawa manfaat jangka panjang bagi ekonomi, masyarakat, dan lingkungan. Biofuel yang bersertifikasi juga memiliki nilai tambah di pasar global, meningkatkan daya saing produk biofuel Indonesia di tingkat internasional.
Optimalisasi Kebijakan Nationally Determined ContributionÂ
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target inisiatif untuk mengurangi emisi melalui kebijakan Nationally Determined Contribution (NDC), dengan sasaran penurunan emisi menjadi 1,6 Gt CO2 pada tahun 2030. Agar target tersebut tercapai, kebijakan NDC perlu diselaraskan dengan strategi pengembangan biofuel berkelanjutan. Berikut ini beberapa langkah sebagai upaya untuk mengoptimalisasi NDC:
- Kebijakan energi terkait biofuel perlu diintegrasikan dengan kebijakan lingkungan dalam NDC untuk memastikan bahwa produksi biofuel tidak merusak lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat koordinasi antara kementerian dan lembaga terkait.
- Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal dan non-fiskal kepada produsen biofuel yang menerapkan sertifikasi keberlanjutan.
- Untuk memastikan bahwa target NDC tercapai, penting untuk memiliki sistem pengawasan dan pelaporan yang transparan dalam proses produksi biofuel seperti pemanfaatan teknologi seperti blockchain untuk melacak asal usul dan rantai pasok biofuel.
- Pemerintah dan BPDPKS perlu melakukan edukasi dan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan industri, Â petani, produsen, mengenai pentingnya sertifikasi biofuel berkelanjutan dan kontribusinya dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Â
Peluang dan Tantangan
Indonesia telah menunjukkan komitmennya terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dengan menetapkan target melalui Nationally Determined Contribution untuk mencapai Net Zero Emission. Salah satu strategi utamanya melalui pemanfaatan biofuel yang memiliki potensi besar untuk mengurangi emisi karbon dalam sektor energi karena dapat menggantikan bahan bakar fosil. Biofuel yang dihasilkan dari kelapa sawit tidak hanya menawarkan solusi pengurangan emisi tetapi juga meningkatkan ketahanan energi nasional dan memperkuat sektor perkebunan. Selain itu, Sertifikasi biofuel berkelanjutan memungkinkan Indonesia memperluas akses pasar. Dengan memperluas adopsi sertifikasi ini, produk biofuel Indonesia dapat bersaing di pasar internasional dan memperoleh kepercayaan dari konsumen global yang semakin peduli terhadap keberlanjutan.
Mewujudkan keberlanjutan dalam produksi biofuel dihadapkan pada banyak tantangan bagi produsen. Salah satu tantangan utamanya adalah terbatasnya akses pada investasi modal, tingginya biaya transaksi, serta mahalnya teknologi, khususnya bagi produsen skala kecil dan menengah (Setiawibawa et al., 2024). Selain itu, minimnya pengetahuan tentang teknologi ramah lingkungan dan kurangnya  program pelatihan bagi produsen juga menjadi masalah serius dalam penerapan standar keberlanjutan. Produsen dengan tingkat pendidikan yang rendah mungkin tidak sepenuhnya memahami atau menerapkan langkah-langkah keamanan dan pencatatan dengan efektif. Oleh karena itu, diperlukan program pelatihan rutin yang dapat membimbing produsen menuju praktik yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.