Mohon tunggu...
Nuno devash
Nuno devash Mohon Tunggu... -

saya hanyalah seorang pria muda yang biasa saja, tak ada yang istimewa....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sketsa Semu

14 Januari 2012   03:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:55 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terlihat jelas raut wajah teman – temanku. Pucat basi seperti tak punya darah. Keadaan tragis dan beban hidup teman – temanku menjadikan mereka melebur dalam kegelapan. Tidak beda dengan keadaanku, malah lebih sengsara dibanding teman – temanku. Aku hanya bisa tidur selama hidupku, tanpa memiliki kekuatan apapun, Jiwa yang selama ini bersemayam di ragaku seperti kepingin melompat.Mungkin saja suatu hari nanti aku tidak bisa memegangi jiwaku yang keluar meninggalkan ragaku. Mulai saat itu aku merasa mungkin jiwaku sudah tidak betah bersemayam di ragaku yang sudah rapuh ini.

“Apa yang bisa kulakukan untukmu hari ini?”, Wardani sudah ada disampingku. Dia adalah istriku, raut wajahnya terlihat bersih, cantik dan manis sekali. Aku seperti tak bosan jika menatap wajahnya. Terkadang aku punya keinginan seandainya memang dia sudah bosan denganku dan keadaanku. Tapi sepertinya dia tidak mau melukai perasaanku.

“Nggak ada yang perlu kamu lakukan” Jawabku.
“Bagaimana keadaanmu..?, aku berdoa semoga semakin membaik. Ngerti nggak, aku kepingin berdua pergi ke pantai. Kira – kira bisa nggak ya?”
Pertanyaan Wardani ini sangat sulit ku jawab.

“Bagaimana? bisa apa ngga?”
“Entahlah, aku nggak tahu”, jawabku bingung
“Pasti seperti itu jawabmu”, wardani terlihat kecewa
“Ya mungkin bisa” kataku pelan.
“Bener?” matanya yang indah terlihat semakin berbinar.
“Iya mungkin bisa”
“Aahh pasti indah, aku kepengin buat patung dari pasir!”, tatapan matanya menerawang jauh.

Terlihat jelas kembali wajah – wajah temanku. Apa yang kira -kira mereka kerjakan sekarang. Teringat kisah salah satu temanku, namanya Eko. Eko sudah berkeluarga dan punya anak satu. Setelah istrinya melahirkan anakknya, istri Eko jadi sering sakit-sakitan, kata dokter ginjalnya tidak bisa berjalan dengan baik. Apalagi anaknya menderita tumor ganas di kepala. Kabar yang aku terima akhir – akhir ini, katanya Eko sudah tidak bekerja, semenjak perusahaan tempat dia bekerja bangkrut. Dalam batin aku cuma bisa prihatin, selain prihatin aku tidak bisa apa-apa, semenjak keadaanku yang rapuh tak berdaya.

Terkadang aku tidak bisa menerima takdir Gusti Allah, kenapa aku diciptakan serba rapuh?
“Hayo, melamun lagi!, ini aku buatkan kesenanganmu”, wardani nyenggol tanganku dan memperlihatkan buah apel.
“Cuma satu?”
“Satu aja kamu gak bisa ngabisin, sekali ini kamu harus bisa ngabisin apel ini”. Tanganya yang halus sudah mengambil pisau dari meja untuk mengupaskan buah apel.

Terlihat lagi bayangan teman dekatku, namanya Agus. Agus sudah tujuh tahun berumah tangga. Anaknya yang pertama meninggal dari pertama lahir prematur. Anak yang kedua juga belum lama ini meninggal, terkena demam berdarah. Sepertinya aku masih mendengar tangis sedih istrinya agus. Saat ini, Rudi sakit pikiran. Kelakuannya semakin aneh. Aku ingat ketika suatu sore Rudi ke kuburan, katanya mau jemput anak-anaknya.

“Wah mau hujan”, kata wardani pelan. Raut wajahnya terlihat senang, sekejap ada suatu hal yang membuat wardani senang.
Dia tersenyum, buah apel sudah di kupas dan dibelah jadi delapan.
“Ini udah tak kupas, cepat dimakan, harus habis”.
“Kalo bengini tidak adil, Bagusnya aku makan satu kamu juga makan satu, begitu seterusnya”, jawabku seenaknya.
“Iya.., tapi harus habis lho..!”
Irisan buah apel aku terima dan aku makan, manis sekali, pertanda lidahku masih bisa membedakan rasa.
Aku lihat rembulan juga ikut makan buah apel. tapi padangannya ke diriku terlihat berbeda, mungkin ada sesuatu yang ingin dia katakan.
” Ada apa?” kataku pelan.
” Seumpama…”. Wardani tidak meneruskan ucapanya.
” Seumpama apa?”
” Kamu nggak marah kalau aku bilang hal ini?”
“Nggak”
“Benar?”
Aku mengangguk.
” Seumpama suatu hari nanti kita tidak bisa bersama lagi, apa kamu masih mencintaiku?”.Wardani tertunduk.
“Tentu saja, aku akan mencintaimu selamanya”, jawabku mantap.

Meskipun ada rasa sakit yang menoreh di batinku. Aku merasa kalau mungkin wardani akan meninggalkan aku. Tapi semua prasangka aku hapus dari pikiranku. Aku sadar kalo selama ini hanya merepotkan wardani. Ya mungkin saja rembulan sudah bosan dengan keadaanku. Aku bisa menerima semua semua keinginan wardani, dan seumpama rembulan meninggalkanku, aku rela dan ikhlas, meskipun ada rasa yang mengikat.
Buah apel masih 3 potong, wardani masih diam dan kepalanya masih menunduk. Aku jadi kasihan melihatnya seperti itu.
“Kamu tidak perlu merasa salah, aku yang salah. selama kamu jadi istriku, aku sangat merepotkanmu. Sekali saja aku belum pernah membahagiakanmu. Aku minta maaf atas kekuranganku ini..”, kataku kehabisan pikiran.

Sebenarnya aku takut kehilangan wardani, tapi aku tidak ingin wardani sengsara hidupnya kalau hidup bersamaku. Aku ingin kehidupan wardani penuh dengan kebahagiaan, dan aku sadar tidak akan bisa menjadikan kehidupanya bahagia.Selain itu, hubunganku dengan wardani tidak di restui oleh orang tua wardani. Masalahnya klasik, orang tua wardani kepingin anaknya berumah tangga dengan orang yang sukses. Entah apa makna sukses yang di maksud itu.

Ketika pikiran dan anganku masih mengebara, Widuri pamit, Entah mau pergi kemana. Suatu saat aku mencoba mencari ragaku, dan aku melihat ada dalam peti yang dipendam di kuburan, dan di dalam peti itu ternyata adalah ragaku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun