Mohon tunggu...
Anisyah Yusepa
Anisyah Yusepa Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Dajti Bandung Angkatan 2011

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rusaknya Akhlak, Akar Masalah Korupsi

24 Februari 2014   23:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:30 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih dari tiga abad silam, Indonesia sibuk melawan penjajahan yang dilakukan bangsa barat  yang hendak menguasai tanah zamrud khatulistiwa. Namun 70 tahun setelah berhasil merebut kemerdekaannya, Indonesia justru harus berperang melawan korupsi yang dilakukan oleh bangsanya sendiri. Maraknya kasus korupsi yang ditangani KPK dalam sepuluh tahun terakhir seolah menjadi cermin melemahnya moral bangsa.

Kasus korupsi tidak hanya terjadi diranah politik, seperti yang banyak diberitakan berbagai media massa. Kasus perampokan yang dilakukan oleh kaum intelektual berdasi ini juga merambah pada sektor pendidikan. Sungguh ironi memang, ketika moral bangsa yang kian memburuk, pendidikan yang diandalkan untuk memerangi penyakit moral malah menjadi ladang empuk bagi para pengemban amanah yang tidak amanah untuk memperkaya diri dengan cara instan tanpa memikirkan akibat selanjutnya.

Catatan Satu Dasawarsa ICW (Indonesia Corruption Wacth)

Dikutip dari situs www.antikorupsi.org , berdasarkan hasil pemantauan  ICW diketahui dalam kurun waktu 2003-2013, penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan KPK) berhasil menindak kasus korupsi pendidikan sebanyak 296 kasus dengan jumlah tersangka 479 orang dan indikasi merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 690,0 miliar.

Dilihat dari objek korupsi, DAK (Dana Alokasi Khusus) merupakan dana pendidikan yang paling sering dikorupsi dengan jumlah 84 kasus dan  merugikan Negara terbesar hingga 265,1 miliar. BOS (Bantuan Oprasional Sekolah) menjadi kasus terbanyak kedua dengan jumlah kasus 48. Korupsi terkait sarpars PT jumlahnya 9, namun merugikan Negara hingga Rp. 57,7 miliar. Modus yang palig sering digunakan dalam 106 kasus yaitu penggelapan. Hampir 50% dari kasus korupsi yang terjadi pada DAK dan BOS bermodus penggelapan karena merupakan dana yang mudah diselewengkan.

Dinas pendidikan merupakan tempat terjadinya kasus korupsi paling banyak dengan 151 kasus dan indikasi kerugian Negara sebanyak Rp. 365,5 miliar. Selanjutnya disusul oleh lembaga seperti kemendikbud dan perguruan tinggi yang menjadi tempat paling banyak dikorupsi. Meski jumlah kasus korupsi yang terjadi kemendikbud dan perguruan tinggi tidak begitu banyak secara kuantitas, namun mengakibatkan kerugian Negara sebanyak Rp. 397,1 miliar.

Disektor ini, Jawa Barat merupakan provinsi paling banyak terjadi korupsi yaitu 33 kasus, namun bukan paling banyak merugikan Negara yaitu Rp. 22,7 miliar. Justru provinsi Banten yang paling banyak merugikan keuangan Negara hingga Rp. 209,0 miliar .

“Masih maraknya korupsi sektor pendidikan adalah masih minimnya penerapan perbaikan tata kelola, yaitu transparansi, partisipasi dan akuntabilitas”, ujar pihak ICW yang diwakilkan Tari selaku divisi monitoring pelayanan public.

Kata Mereka….

Sebagian besar orang terbiasa mendengar kasus korupsi yang dilakukan para politikus atau tokoh politik. Sementara itu, jarang media yang memberitakan kasus korupsi didunia pendidikan. Seperti yang telah dijelaskan, korupsi didunia pendidikan tidak sebanyak kasus korupsi yang dilakukan elit politik. Namun Negara mengalami kerugian yang tidak sedikit di sector pendidikan ini.

Pakar Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Drs. Mahi Hikmat mengatakan,” Anggaran negara yang dialokasikan oleh pemerintah pusat mencapai 20% dari total APBN yang dikeluarkan pemerintah dalam berbagai sektor. Hal tersebut secara tidak langsung ikut memperbesar kesempatan bagi para oknum yang tak bertanggung jawab, untuk melakukan tindakan penyelewengan (korupsi)” saat ditemui Suaka pada 16 Januari lalu.

Menanggapi hasil pantauan ICW, dosen di Fakultas Adab dan Humaniora ini mengatakan bahwa ada banyak faktor yang melandasi terjadinya korupsi diberbagai sektor terutama di bidang pendidikan, yaitu kulaitas suprastruktur yang belum memadai, moralitas pejabat lembaga pendidikan, SDM yang belum mampu mengelola administrasi, dan pelaksanaan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Selain itu, peran serta masyarakat dalam mengawasi lembaga publik serta penananman kultur transparansi yang masih minim dilakukan badan publik seperti legislative, eksekutif maupun yudikatif hingga lembaga atau perusahaan milik Negara maupun swasta. Apabila UU KIP ini dimaksimalkan oleh seluruh elemen masyarakat, secara tidak langsung,  masyarakat turut serta dalam pengawasan program-program yang dicanangkan lembaga publik. Disisi lain, masyarakat berhak meminta transparansi dari setiap kebijakan yang dibuat, khususnya dalam pengalokasian anggaran. Hal ini tentu saja bertujuan untuk meminimalisir penyelewengan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.

Di Indonesia, permasalahan transparani memang belum menjadi kultur yang membudaya di lingkungan lembaga maupun masyarakat sipil. Walaupun UU tentang transparansi sudah lama diundangkan, namun tampaknya masalah transparansi belum bisa diselesaikan . Lembaga publik justru terkesan antipati dengan transparansi, apalagi jika berhubungan dengan masalah anggaran.

Bukan hanya kerugian dalam bentuk materi saja yang dihasilkan dari korupsi, secara tidak disadari,  korupsi bisa memengaruhi mental seseorang. Seperti yang dikatakan guru besar pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Ahmad Tafsir ,” Sebetulnya sifat korupsi itu yang berdampak  membuat orang malas, kerja kurang loyal. Dalam pembangunan, seandainya APBN itu dikorup tiga puluh persen, pembangunan masih jalan! Sifat korupnya ini yang membuat loyalitas seseorang itu mundur”.

Kasus korupsi yang terjadi didunia pendidikan memang tidak memiliki pengaruh besar  secara  langsung terhadap proses pembelajaran yang ada di sekolah atau lembaga pendidikan. Namun, hal ini bisa menyebabkan rusaknya mental seseorang terhadap pola pikirnya. Orang yang bekerja puluhan tahun sesuai dengan ketentuan (jujur), bisa menjadi malas ketika melihat seseorang yang baru bekerja beberapa tahun namun bisa menghasilkan ini-itu dalam waktu yang singkat dan tidak masuk akal padahal gaji yang diterima tidak jauh beda. Pada akhirnya bisa jadi produktifitas kerja seseorang akan berkurang. Pilihannya, ia akan ikut dalam lingkaran setan tersebut (ambil bagian dalam praktik korupsi) atau membiarkannya tanpa ada perlawanan karna faktanya justru banyak orang justru memilih terlibat.  Jika hal ini diabaikan, moral anak bangsa hanya tinggal menunggu kehancuran.

Rusaknya moral berawal dari pemahaman agama yang masih minim. Andai saja setiap orang memiliki pemahaman agama yang baik serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Sebesar apapun godaannya, kecil kemungkinan  orang tersebut masuk dalam lingkaran setan mematikan tersebut. Sayangnya, pemahaman tentang agama yang lemah sehingga akhlak pun berbadingan lurus.

“Kesalahan pendidikan di kita itu dari dulu, dari awal-awal dalam UU pasal 2 dan 3 itu tidak disebut akhlak sebagai fokus pendidikan, melainkan kecerdasan sebagai fokus pendidikan. Kalau Indonesia mau maju, ubahlah pasal tiga itu, bahwa fokus pendidikan Indonesia itu adalah akhlak. Jadi akhkkak ini pondasinya”, kata dosen di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Pendidikan setinggi apapun tidak akan berguna jika akhlaknya tidak baik. Sudah terbukti, justru banyak koruptor yang ternyata berpendidikan tinggi. Pada dasarnya, pendidikan formal belum cukup membentuk kepribadian individu yang baik.  Korupsi yang merupakan gejala mental sejak usia dini  melibatkan aspek kognisi.“Pendidikan tinggi bukanlah jaminan seseorang untuk tidak melakukan tindak korupsi”, ujar dosen Fakultas Psikologi, Dr. Hj. Ulfiah, M.Si. Ia juga menambahkan, dalam hal ini, korupsi dipengaruhi oleh perasaan ingin menguasai dengan menghalalkan segala cara tanpa ada super ego yang kuat. Korupsi yang merupakan gejala mental yang tidak sehat, pada akhirnya dapat membentuk kebiasaan-kebiasaan tidak baik.

Apa yang harus dilakukan ?

Nasi memang sudah menjadi bubur dan bubur tak mungkin kembali menjadi nasi. Menjadikan bubur yang enak adalah solusi terbaik daripada harus menggutuki yang teah terjadi. Begitupun dengan maraknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Perlawanan terhadap tindak korupsi sudah pasti, namun bagaimana kita harus memulai?

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menanggulangi dan mencegah perkembangnya praktik korupsi. Jika faktor permasalahan korupsi dari transparansi, maka pemerintah  harus meningkatkan kualitas  SDM yang mengelola lembaga publik diberbagai sektor. Selain itu UU No. 14 tahun 2008 tentang KIP juga harus diaplikasikan oleh setiap badan publik yang dibiayai sepenuhnya maupun sebagian oleh dari APBN maupun APBD. “Masyarakat juga harus dilibatkan sebagai pihak yang ikut mengawasi kebijakan yang dijalankan suatu lembaga publik.”, ujar Drs. Mahi Hikmat yang mengambil gelar doktor komunikasi politiknya di UNPAD.

Hal tersebut diamini oleh Tari, “Jika anggaran pendidikan tidak dikelola dengan tata kelola yang baik, maka korupsi di sektor pendidikan masih akan terjadi”.

Pengelolaan anggaran pendidikan harus disertai dengan peningkatan pengawasan dan partisipasi publik. Hal ini juga harus berbanding lurus dengan lembaga publik yang juga menerapkan asas transparansi mulai dari membuka perecanaan kebijakan publik dan anggarannya pada masyarakat.  Selain mendapat pengawasan dari masyarakat, BPK harus lebih aktif dalam melakukan audit terhadap dana-dana pendidikan. Karena hal ini mampu meningkatkan pengawasan terhadap dana tersebut.

Sementara itu, menurut dilihat dari perspektif pendidikan, ada dua hal yang harus dilakukan dalam mengatasi krisis moralitas ini. pertama sistem pendidikan harus diperbaiki. Bukan hanya pendididkan disekolah, tapi pendidikan di lingkungan masyarakat pun harus diperbaiki. Mulai dari mengubah paradigm hingga tingkah laku. Selain itu focus pendidikan harus diubah dari kecerdasan menjadi akhlak. “Akhlak tidak banyak dibentuk dari pemikiran, tapi lewat peneladanan, pemotivasian dan penegakkan aturan. Inti dari permasalahan di Indonesia adalah kemerosotan akhlak.”, tambah Prof. Ahmad Tafsir  yang ditemui Suaka pada 22 Januari silam di Gedung Pasca Sarjana. (LPM SUAKA / Anisyah AF)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun