Akhir- akhir ini tepatnya minggu terakhir Bulan Juli ini, terkuak ke khalayak bahwa ada wajah lain dari sebuah penjara. Penjara bukan lagi rumah tahanan melainkan rumah istirahat dan rumah teraman untuk melakukan kejahatan tanpa perlu mengotori tangan.
Hal ini berlaku bagi para penjahat kelas kakap dengan sistem keuangan yang tidak pernah berhenti sejak mulai bekerja hingga berada di penjara, para koruptor. Beberapa media mem-blow-up aksi KPK yang melakukan razia dan penyitaan barang-barang mewah di penjara-penjara milik terdakwa tipikor di Rutan Sukamiskin.
Kasus penjara mewah atau kasus dagang fasilitas penjara ternyata memang bukan barang baru. Seperti yang disampaikan salah satu mantan Narapidana politik di Indonesia dalam sebuah acara televisi (24/07/18) "Saya yakin Bapak ***** dsb itu sudah tahu puluhan tahun, bahwa disemua penjara di Indonesia terdapat dagang fasilitas. ... jadi mereka itu pura-pura kaget." Inilah ironi yang sudah menjadi bagian dari keseharian Indonesia.
Disamping terekspose secara besar tentang kepura-puraan ini, ada banyak realita yang lebih menyesakkan hati, tentang kisah kehidupan rakyat. Salah satu, yang baru saja penulis temukan adalah betapa pentingnya air bersih di daerah pesisir atau pulau-pulau terluar.
Beberapa waktu lalu, penulis yang mendapat tugas melakukan survey rona lingkungan dan masyarakat pada rencana pembangunan Instalasi Pengolahan Air Bersih di Kepulauan Seribu menemukan banyak fakta bahwa air bersih adalah salah satu kebutuhan paling mendasar yang sulit sekali mereka dapatkan. Memang kisah ini bukan merupakan hal baru juga, tapi ini berkembang dan semakin menyesakkan hati dengan banyaknya kasus kepura-puraan para pejabat pemerintahan yang terkuak.
Warga dilokasi survey, tepatnya warga Pulau Kelapa dan Pulau Harapan, menyatakan bahwa kebutuhan air bersih sangat tinggi baik kebutuhan minum, masak, mandi dan mencuci. Selama ini kebutuhan air bersih dipenuhi dengan berbagai cara, diantaranya adalah pembelian air minum dari Water Reverse Osmosis System milik Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta seharga Rp. 25,00/Liter air.Â
Air baku Reverse Osmosi berasal dari sumur patok yang dibuat dengan kedalaman 150-250 meter. Pengolahan air ini hanya mampu memproduksi 10-16 liter air/menit atau 7000-8000 liter/hari (8 jam operasional). Jika musim kemarau terlampau panjang dan RO ini tidak beroperasi maka air minum dipenuhi dengan cara membeli air minum dalam kemasan.
Dan berbeda halnya dengan air bersih untuk keperluan mandi dan mencuci (MCK), beberapa warga ada yang menggunakan sumur dangkal (kedalaman < 2 meter) milik pribadi atau bagi warga yang tidak memiliki sumur dangkal maka terpaksa membeli ke tetangganya dengan harga Rp. 35.000,00/ 20 Liter air.
Kebutuhan air rata-rata warga 150 liter air/hari/orang (berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 122 Tahun 2005) dan berdasarkan wawancara masyarakat, masyarakat mampu menghemat kebutuhan air menjadi 250-300 Liter air/hari/rumah. Dengan jumlah warga 5.705 jiwa (1.543 KK) dan 2.205 jiwa (427 KK) (BPS Jakarta Tahun 2017), maka dapat disimpulkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan air, warga harus merogoh kocek minimal:
Rp. 125,00 (5 liter air minum) + Rp. 245.000,00 (245 liter air bersih) = Rp. 245.125,00/ hari.
Salah satu solusi dari permasalahan kebutuhan air bersih bagi warga pesisir pulau berdasarkan pengamatan penulis adalah pengadaan teknologi pengolahan air bersih yang lebih besar semisal sistem desalinasi (pengolahan air laut menjadi air bersih) atau Sea Water Reverse Osmosis (SWRO) yang mampu memenuhi kebutuhan air bersih warga.