Mohon tunggu...
Abdul Qodir
Abdul Qodir Mohon Tunggu... -

Membumi dengan islam.\r\nhttp://aabelkarimi.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Islam dan Perbedaan Itu Tidak Penting!

3 Juni 2014   04:30 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:47 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak muda akan selalu dan tetap belajar dari orang tua soal kebijaksanaan. Anak muda dalam bertindak kebanyakan berdasar pada reaksi spontan dan dalam gerakknya cenderung'grusukkan', karenanya butuh referensi orang tua dalam mengambil tindakan yang anggun dan bijak. Inilah yang sejatinya saya pegang dari waktu ke-waktu bahwa saya sebagai anak muda, sepintar apapun, sebisa apapun, haruslah belajar dari orang tua dalam hal kebijaksanaan menghadapi persoalan dan mengambil solusi untuk dituntaskan. Namun alhamdulillah pendapat ini sedikit terkokohkan dan menjadi detail setelah perkuliahan pagi tadi, bahwa orang tua yang harus kita jadikan guru kebijaksanaan haruslah dipilah lagi, benar-benar diseleksi, dan wajib difiltrasi sampai benar-benar bersih dari keberpihakan pada keburukan. Karena tak selamanya orang tua selalu bijak dalam suatu persoalan apalagi terkait pandangannya tentang perbedaan, bisa jadi mereka telat bijak.


Sebagai seorang manusia normal yang tidak bisa lepas bersosial maka munculnya perbedaan itu suatu kepastian adanya. Mulai dari perbedaan gaya bicara, perbedaan berjalan, perbedaan gaya naik motor, perbedaan berpendapat, perbedaan sudut pandang dalam menilai  permasalahan yang muncul sehari-hari, sampai pada perbedaan yang lebih besar, yaitu dalam mengejawantahkan solusi Islam dari gelombang besar permasalahan peradaban, ini adalah mutlak adanya. Memang benar! ini semua muncul  karena otak yang terdapat di manusia yang milyaran jumlahnya ditambah lagi isi dari tiap kepala itu yang mengokohkan perbedaan.


Namun pasti, terkait perbedaan akan kelompok-kelompok kaum muslimin khususnya yang berada di Indonesia, saya akan tetap mengingat kalimat yang dikeluarkan seorang doktor pagi tadi dalam perkuliahan yang menyangkut persoalan sosial budaya, dengan suatu simpulan akhir yang ia keluarkan  "Indonesia ki Edan tho?", Indonesia ini edan kan?


Meskipun kata-kata yang dikeluarkannya tidak persis seperti yang saya utarakan di bawah ini namun InsyaAllah esensinya tetap sama dengan sedikit pengubahan kosa kata supaya tidak terlalu keras, namun lembut seperti coklat yang mencair dalam mulut. Berlogat khas seperti kebanyakan masyarakat jawa pada umumnya kata-kata yang keluar kurang lebih seperti ini:


"Indonesia ki edan tho? kalian bisa lihat antara kelompok satu dengan kelompok lainnya saling bersahutan mengkafirkan, sing siji melarang tahlilan, sing liane melarang shalawatan. Dikit-dikit bid'ah, yaaa.. mereka itu seakan merasa paling benar sendiri, paling suci. Piye ki? Kelompok di Indonesia ki muacem-muacem, ono NU, Muhamadiyah, FPI, HTI, KDI, hahaha. . . dan semua tidak rukun. Edian tho? mungkin amerika akan berkata 'Alaaakkhh, indonesia ki ra sah di bom karo bom nuklir, dimenengke wae, insyaallah ancur''"


Pernyataan ini sangat menarik, namun yang lebih menarik bagi saya adalah pernyataan selanjutnya,


"Kelompok-kelompok islam ki wes mumet kabeh, makanya saya dan jamaah M****h selalu berangkat dari kekotoran, bahwa manusia ini adalah makhluk kotor, makanya tidak akan terjadi sifat merasa paling benar sendiri, tidak akan merasa paling suci dan tidak mudah mengkafirkan".


Saya sendiri terheran-heran mendengar pernyataan seorang doktor yang bicara di depan ruang kelas. Di depan saya dengan sangat jelas ia berkata pedas seolah ia menampar muka saya kemudian menjilat tangannya dan menamparkan kembali ke mukanya sendiri. Pernyataan pertama yang terdengar tajam dan sangar malah lemah dengan pernyataan terakhirnya. Sayang sekali. Kenapa? beliau terlalu menghakimi secara general bahwa kelompok-kelompok Islam yang ada seolah merasa paling benar, namun beliau dengan tidak sadar membentuk kelompok juga yang malah menambah suram kondisi, dengan pernyataannya tersebut pasti muncul hampir di semua benak pendengar bahwa masuk dalam jamaah/harokah-harokah islam itu tiada gunanya, bahwa semua orang yang terlibat dalam kelompok-kelompok Islam itu bodoh, menginginkan perpecahan, dsb. Padahal jika menggunakan sudut pandang yang sedikit lebih baik, yang aman dan menentramkan, yang disoroti bukanlah perbedaannya. Islam dan perbedaan itu tidak penting!, sekali lagi, Islam dan perbedaan itu tidak penting! karena islam menawarkan solusi untuk perbedaan.


Yang kemudian mendorong saya untuk menulis tulisan ini adalah: Pertama, terkait golongan dalam sudut pandang Islam. Kedua, terkait pandangan tiap kelompok islam (yang katanya) merasa paling benar sendiri, 'paling suci dhewe'.


Kelompok-kelompok dalam Islam
Memang dalam pemberitaan di media massa, baik itu online maupun offline, ditambah dengan informasi dari mulut ke mulut umat muslim perseturuan antar kelompok Islam sangatlah kacau, apalagi jika permusuhan dan kesemrawutan antara kelompok islam ini jika terus difantasikan ibarat pusaran buih segitiga bermuda, dahsyat, sangat besar!. Namun pernahkah kita berpikir bahwa itu semua tidak sepenuhnya benar? Itu semua saya katakan tidak penting! Ya, ini jika ditinjau dari segi pemahaman. Maka ketika kita mengambil analisis dari segi pemahaman tentang perbedaan antar kelompok dalam Islam, haruslah paham terlebih dahulu garis besar masalah yang muncul berulang tentang perbedaan yang diberitakan memilukan itu. Yang sering terjadi kaitannya antar kelompok-kelompok Islam dan perseturuan adalah jangan disangkutpautkan dengan hadits 73 golongan. Hal ini karena kata' Al-jamaah' dalam hadits itu ---Hadist yang memaparkan syarat muslim masuk ke syurganya Allah-- bermakna khusus, bukan umum. Kata 'Al jamaah' dalam hadits yang menyatakan perpecahan 73 golongan itu jika disandarkan pendapat Imam At-thobari dan Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani adalah 'Jamaatul lil muslimin idzaa ijtimaa'i li amir' yaitu kumpulan kaum muslimin (di seluruh dunia) yang dipimpin oleh seorang amir/pemimpin. Dalam terminologi kaum Sunni --seperti kita,mayoritas muslim di Indonesia-- disebut Khilafah, sedang dalam terminologi kaum Syiah adalah Imamah. Jadi bukan kelompok-kelompok islam dan jamaah-jamaah pengajian. Jika dimaknai demikian maka akan sangat kacau, karena bertentangan dengan firman Allah dalam surah Ali imran: 104,


"Dan HARUSLAH ada di antara kamu SEGOLONGAN UMAT yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung."


Ayat di atas adalah ayat perintah untuk berjamaah, perintah untuk membentuk kelompok dalam menjalankan misi dakwah yang mulia, karena tabiat manusia itu bukanlah Superman, yang bisa sukses berdakwah secara individual, sangat perlu uluran tangan orang lain.


Anggapan tiap kelompok Islam yang merasa paling benar dan suci.
Anggapan ini jelas tidak berdasar. Dalam individu muslim adalah sebuah keharusan bahwa dirinya kotor di hadapan sang kholiq yang maha suci. Maka sudah pasti setiap kelompok-kelompok Islam sepakat menyetujuinya bahkan mengajarkan kepada para anggotanya bahwa manusia sejatinya kotor dihadapan Allah. Ini simpulan terlogis yang tidak akan menimbulkan perdebatan. Lantas mengapa masih saja ditemui anggapan bahwa tiap kelompok-kelompok islam merasa paling benar sendiri? Yah, namanya juga anggapan, jelas tidak bisa dibuktikan.


Sebenarnya yang menjadi persoalan bukanlah antar kelompok merasa paling benar, bukan merasa paling suci. Persoalannya adalah dalam setiap kelompok Islam yang ada tentunya memiliki landasan yang harus dibuktikan. Ini hal logis dan terjadi hampir dalam semua aktifitas yang memerlukan konfirmasi. Persis sama ketika seorang mahasiswa tingkat akhir menjalankan sidang skripsi dan harus mempertahankan pendapatnya jika memang benar dan bisa diterima. Nah, landasan berupa dalil-dalil sebagai pegangan dari tiap organisasi inilah yang kadang tidak pernah dikonfirmasi. Alhasil, jika ada kelompok Islam yang mau berdiskusi dan mempertahankan pendapat dalam diskusi karena dalil yang digunakan bisa dipertanggung jawabkan malah dikatakan merasa benar sendiri. Apa jadinya jika mahasiswa dalam sidang akhir dikatakan merasa benar sendiri sedang penguji tidak sampai selesai menguji?


Ini perlu kematangan di setiap individu kaum muslimin, hal ini juga perlu dan harus ditopang oleh negara dalam hal sosialisasi setelah dikeluarkannya fatwa aman dari Majelis fatwa MUI mengenai sebuah kelompok Islam, bahwa kelompok anu itu tidak sesat, kelompok anu hanya beda dalam masalah fiqih saja, maka kalian kalem saja, saya yang sudah menguji.


***
Jadi jelas pak doktor, Islam dan perbedaan itu tidak penting! Karena Islam memiliki solusi atas perbedaan.




Semarang, 2 juni 2014
-------------------------
Tulisan ini dimuat juga di blog : AabElkarimi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun