Saudara... apa pasal kita bicara DPR?
Acapkali setiap kita menyebut kata itu, perasaan dongkol selalu merajai. Setiap bilangan huruf itu di eja, bunyi De Pe eR adalah kesintingan, penuh kepentingan, dan kebusukan. Barangkali menelanjangi adalah kepentingan yang harus kita laksanakan saat ini juga. Seperti mereka yang juga berkepentingan untuk tidak mementingkan kita (baca: rakyat).
Kemarin rapat RUU pillkada yang lebih mirip pantat, telah kita saksikan. Menjijikan. Tapi kita adalah warga negara yang baik, warga negara yang selalu punya harapan untuk bangkit, namun kepayahan karena ketidakjelasan. Lalu apa yang bisa kita lakukan? toh ketika bicara masa depan, kita sudah tidak punya harapan, dibunuh keculasan, kesenonokan, dan tingkah mereka yang mirip anak TK.
Anggota dewan yang dielu-elukan sebagai legislator, memang dari dulu selalu bikin ulah. Tingkat kedewasaan yang hanya sebatas jenggot, perut buncit, jas dan kopiah tidak memiliki urgensi apapun selain kekonyolan tindakan yang harus segera diberikan popok dan minyak telon. Legislator yang semodel ini jika dibiarkan tentu seperti tahun-tahun sebelumnya, kebijakan-kebijakan lahir, bergulir, dan menjadi momok bagi kita semua. Undang-undang yang melegalkan pornografi, mengatur peredaran minuman keras, putusan kenaikan dari hasil voting LPG, BBM, hingga sembako telah menampar muka, membuat kita tenggelam dalam keringat kepayahan, terlebih kualitas DPR yang kita saksikan saat ini adalah tipikal menguap jika diiming-imingi nafsu syahwat. Yang saat ini menjadi dugaan kuat (gholabatuddzon) dan dipastikan akan terjadi adalah ketika para pengejar rente (rent seeker) menggunakan kekayaan mereka untuk memengaruhi legislasi demi melindungi dan meningkatkan kekayaan mereka, memengaruhi arah politik, dan berujung pada upacara bunuh diri masal berupa kehancuran global yang merangkap segala bidang. Kita sedang menunggu upacara bunuh diri itu.
Maka jika kita diam, hancurlah kita. Penting dipahami, bagi kita, tak ada kalangan yang tak bisa dikritik kalau memang diperlukan. Tak ada dewa yang harus senantiasa dipuja, kalau salah, ya harus dibilang salah. Tingkah DPR yang sudah melampaui batas harus kita koreksi, kendati yang terjadi adalah hujatan yang kita dapatkan, tapi ini suatu hal yang harus direlakan untuk mahalnya sebuah kebenaran. Apa itu kebenaran? Kebenaran adalah pengungkapan sesuatu yang membuat seseorang merasa pasti, jelas, serta kuat dalam tindakan maupun pengetahuannya karena ia telah selesai dengan pertanyaan mendasar dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup, dan akan kemana setelah mati.
Membaca Masa Depan Indonesia
Kita tak bisa melihat ke depan. Masih kelam. Kabut yang ada masih menghalangi pandangan, masih menutupi mana yang benar dan mana yang salah, masih didominasi oleh para bandit, kemudian realitas menjadi bias, menjadi kalut, menjadi kacau, menjadi durhaka pada Allah. Karena legislator hukum masih ditangan manusia pecundang yang tak rela jika kepentingan pribadinya terdomplengi, meski oleh dan demi kebenaran dan kepentingan publik.
Tak usahlah bicara analisis, cukup melihat fakta yang ada. Saat ini berapa persen sumber daya alam yang penghasilannya masuk ke kas negara? Saat ini bertenggernya MNCÂ (Multi National Coorporate) sudah kuat melebihi semua masyarakat Indonesia yang berjualan kelontongan dan pakaian dalam. Artinya ini adalah sesuatu hal yang mendesak dan menjadi kepentingan kita untuk berebut menjadi rahmat bagi semua manusia. Satu-satunya rahasia dari masa depan Indonesia ini adalah tidak ada rahasia. Secara prinsip kita harus sudah menyadari bahwa negeri ini sudah terlampau parah terdomplengi asing, baik itu berupa diplomasi dan lobi-lobi politik maupun ekonomi. Ketika sudah memahami hal ini, segala bentuk ambiguitas, kontradiksi, dan kebingungan-kebingungan yang bertengger di kepala akan dengan sendirinya musnah. Hal ini disebabkan karena kita belum mempunyai kekuatan ideologi yang matang dan paripurna. Yang bisa mengusir kepentingan asing dari luar, dan menyelesaikan konflik internal.
DPR mati saja, legislator adalah kebiadaban
Salah satu alasan yang sebetulnya penuh kecaman dan sangat beresiko adalah bahwa sebaiknya DPR bubar saja. Berbondong pulang kerumah. Ngaca!. Siapakah yang pantas membuat hukum? manusia, ataukah Allah? Kesalahan fatal manusia saat ini menganggap tidak penting campur tangan Allah yang mengatur lewat syariatnya dalam kehidupan. Memang betul, saat ini berbagai pertimbangan telah dan sedang dilakukan. Namun hanya sebatas apakah DPR dipilih rakyat ataukah DPR tidak dipilih rakyat, padahal pertanyaan terbesar adalah apakah rakyat dan manusia bisa dijadikan sumber kebenaran yang pasti dan mantab?. Padahal sejatinya rakyat pun dalam demokrasi hanya sebagai objek untuk dimanfaatkan, dimobilisasi demi kursi, digiring layaknya bebek untuk memilih si anu yang sudah menghasilkan anu padahal bohong. Bisa kita tebak jika mereka sudah bosan dan telah mendapatkan apa yang mereka inginkan, rakyat diacuhkan, diinjak, ditangkap, dan paling menyakitkan ketika rakyat sadar; di tembak, dimatikan densus sebagai teroris.
Legislator semodel apa yang ideal? Apakah karena Demokrasi yang telah mengajarkan kita bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan? toh nyatanya model tuhan yang diamanahkan dan diwakilkan rakyat tidak ideal bahkan najis dan kejahilan jika disebut Tuhan.