: untuk warga Bukit Duri
Tanah itu masih muda ketika para buyut lahir. Sebidang tanah di sisi sungai besar dengan bau segar yang khas dari ilalang basah. Kini, tanah itu sarat aroma deterjen. Tapi masih saja, anak-anak muda di sisian kali suka bernyanyi riang. Mereka bersenandung pagi-pagi, ketika hendak menuju jamban umum.
Tanah kadang becek. Mereka menempel di sela jempol dan telunjuk kaki siapa saja. Itu membuat mandi menjadi terasa betul gunanya. Ketika pepohonan rindang masih padat membujur di tepian kali, tanah merah basah sulit kering karena tertutup bayang-bayang rimbun. Kini basahnya tanah makin cepat kering.
Tepat ketika hamparan tanah merah mengering, Abdul bangun dari tidur usai sembahyang subuh. Kerut-kerut nikmat hadir di geliatnya. Tercenung sejenak, ia ingat sesuatu.
"Wangsit!" Ujarnya setengah teriak.
"Wangsit apaan?" Ibunya dari balik etalase merapikan tempe goreng yang sebelumnya menggunduk tak beraturan di atas piring.
"Di mimpi tadi, ada dermawan akan datang ke sini."
"Siapa?"
"Mukanya buram. Pokoknya dermawan. Dia baik hatinya. Kelebihan kasih sayang, kelebihan uang juga. Dia akan datang sebentar lagi. Mau membantu kita, masyarakat yang digusur rumahnya."
"Nikmat sekali mimpimu. Bantu apa dia?"
"Kasih rumah, kasih uang, harta, segala...."