"Penghapusan mural menurutku termasuk pengekangan pendapat seseorang dan cenderung berkesan pemerintah seperti anti kritik terhadap realita yang ada." Lanjut Lilu. Seolah-olah melanjutkan opini Lilu, Indra Setiawan, seniman visual yang berdomisili di Malang menyatakan, "Pemerintah enggak takut muralnya, tapi takut efeknya."
Seni bernada kritik harus diakui memang bisa memengaruhi persepi banyak orang terkait suatu isu di dalam masyarakat. Ia bisa jadi pelecut bagi gerakan-gerakan sosial yang lebih konkrit seperti demonstrasi di jalanan, tuntutan pengadilan, dan semacamnya. Namun, hal itu juga bukan sesuatu yang niscaya. Masyarakat hanya akan benar-benar tergerak ketika ada yang salah atau ganjil dalam tatanan sosial yang dirasakannya. Jika hidup masyarakat itu berada di dalam zona nyaman, seni bernada kritik tidak akan ada pengaruhnya dan tidak akan terlalu dipertimbangkan.
Lalu, adakah koridor, etika, dan norma yang perlu dipertimbangkan oleh seorang seniman ketika menghasilkan karya yang mengandung kritik?
Ketiga seniman visual yang berbincang dengan saya ternyata memegang prinsipnya masing-masing.
"Ini memang sedikit susah karena dalam lingkup budaya ketimuran yang biasa berunggah-ungguh dalam hal ini berhubungan dengan norma kesusilaan, kesopanan, dan norma hukum, kita jadi merasa sedikit restricted dalam berkarya. Kita tidak bisa bebas dan liar mengkritik dengan frontal tentang isu sosial atau ketidakadilan yang memang pada kenyataannya perlu dibenahi atau diperhatikan dan mendapat tanggapan dari pemerintah atau komunitas masyarakat tertentu. Pesan moral yang diungkap dalam karya seni kadang menjadi bias. Menurutku, kita harus bereksperimen untuk menemukan jalur yang aman dalam menyampaikan pesan," ujar Lilu. Sebagai seorang seniman, ia berpegang pada satu hal: kritik tak boleh mengandung unsur SARA. Pun begitu halnya dengan Indra,
"Bernada kritik bebas aja menurut saya, yang penting verbalnya tidak mengandung unsur kekerasan."
"Kalau memang tidak melanggar aturan dan pesan yang disampaikan kritik sesuai dengan fakta, kenapa harus takut?" Bung, seorang seniman visual asal Kota Maumere menambahkan.
Hal-hal yang diungkapkan para seniman visual itu bagi saya adalah sebuah bentuk kesopanan berkarya sekaligus bentuk pengabdian. Dalam konteks Indonesia hari ini, seni yang bernada kritik harusnya disyukuri, bukan dihapus apalagi senimannya dijadikan buronan. Seni bernada kritik adalah pengejawantahan dari keragaman ekspresi dan kepedulian seniman sebagai warga negara terhadap isu-isu sosial di sekitarnya.
Saya sepakat dengan yang disampaikan Indra bahwa mural itu seni yang unik. Ia bisa menyangkut persoalan artistik, tetapi pun bisa jadi barometer sosial-politik.
"Uniknya, mural itu punya hidup dan umur masing-masing. Kalau lama nggak dihapus, berarti tempat itu punya prinsip perlindungan ke mural, kalau cepat dihapus, berarti sebaliknya," ujarnya. Itu ide baru yang sangat masuk akal bagi saya. Karya seni sebagai perpanjangan tangan para seniman bisa jadi alat untuk mengukur tingkat kepedulian pemerintah suatu daerah pada eksistensi seniman dan kerja-kerja seni.