Ada luka di punggungku yang berjejaring dengan kebekuan di jari-jari kaki gadis penjual geretan dalam dongeng HC Andersen. Ia menyalakan beberapa duka yang terang dan menghangatkan: dapur yang nyaman, pesta libur penuh tawa, pelukan nenek wangi kue jahe, dan sebuah pohon natal gemerlapan -- seperti aku menyingkirkan debu-debu yang hampir menyisip. Namun ada baiknya dongeng berhenti sampai di situ, tepat pada ketidakhati-hatian; tepat pada kejutan-kejutan penting.
"Kalau dongeng dilanjutkan sampai selesai, kita harus bekerja lebih keras, menangis lebih deras."
Hari ini, orang-orang bemulut bebek beradu nasib. Luka yang menjalar diam-diam di belakang semakin terasa perit menopang dua bahu yang jadi tempat bersandar orang ramai. Gadis penjual geretan mati sejak kemarin dulu. Dari ujung geretannya, asap mengisyaratkan kepulan duka membubung hilang pada waktunya.
Luka kami masih terhubung. Aku melihat empat imaji impian kerap menyala dalam ruang-ruang arwah. Sementara itu, kita yang hidup senantiasa memekat seiring waktu.
Cileunyi, 12-13/12/2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H