Mohon tunggu...
Aa RuslanSutisna (Mata Sosial)
Aa RuslanSutisna (Mata Sosial) Mohon Tunggu... Wiraswasta - Simple

Simple dan enjoy

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perspektif Tradisi Ruwahan Jawa Menjelang Ramadhan Versi Catatan KP Norman Hadinegoro

21 Maret 2022   08:05 Diperbarui: 21 Maret 2022   08:11 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia ini adalah negara yang sangat besar dan luhur akan nilai-nilai agama dan budaya. Toleransi kehidupan antar umat dan golongan begitu indah bersahaja dengan spirit Bhineka Tunggal Ika.


Menjelang Bulan Suci Ramadhan di Nusantara ini banyak budaya dan tradisi yang biasa secara turun temurun dilakukan oleh warga masyarakat di seantor Nusantara ini dengan berbagai latar belakang dan corak budayanya masing-masing dengan tetap menjaga nilai-nilai norma dan adat istiadat.

Di Jawa ada istilah tradisi "Nyadran" saat menjelang Bulan Suci Ramadhan, dan hal ini biasa dilakukan oleh warga masyarakat di pulau Jawa diantaranya Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Untuk di Jawa Barat tradisi sebelum Bulan Suci Ramadhan sering dijumpai warga masyarakat yang berziarah ke makam leluhurnya atau keluarganya. Tidak jauh beda dengan tradisi Jawa Tengah atau Jawa Timur.

Menurut Kanjeng Pangeran Norman Hadinegoro Tradisi Ruwahan Jawa Menjelang Ramadhan merupakan tradisi leluhur yang terus turun menurun sebagai kearifan lokal budaya Nusantara ini.

Dimana dalam tradisi tersebut tumbuh nilai-nilai kebersamaan, penghormatan, serta keluargaan yang sangat erat sekali.

Kanjeng Pangeran Norman Hadinegoro juga menjelaskan bahwa Ruwahan berasal dari kata "Ruwah" merupakan bulan urutan ke tujuh, dan berbarengan dengan bulan Sya'ban tahun Hijriyyah

Hal tersebut diungkapkan Kanjeng Pangeran (KP) Norman Hadinegoro kepada awak media beberapa hari yang lalu.

Penulis pun Komunikasi secara langsung melalui jaringan WhatsApp pribadinya bahwa KP Norman Hadinegoro sangat bersahaja dan mencintai budaya Nusantara ini.

Kata Ruwah  sendiri memiliki akar kata "arwah", atau roh para leluhur dan nenek moyang. Konon dari arti kata arwah inilah bulan ruwah dijadikan sebagai bulan untuk mengenang para leluhur, Kp Norman Hadinegoro menjelaskan dengan singkat dan esensial.

Ruwahan dilakukan sepuluh hari sebelum bulan Puasa (Ramadhan). Pada tradisi ini sejumlah ritus digelar menurut tradisi dan adat di tiap masing-masing daerah atau pedukuhan.

Acara dimulai dari acara nisfu syaban, arak-arakan keliling kota, besrik (bersih desa) yang diiringi slamatan kecil lalu kenduren di malam hari.

Keesokan paginya dilakukan nyadran, hingga berakhir pada acara padusan tepat di penghujung hari menjelang Puasa.

Menurut Perspektif Kp Norman Hadinegoro bahwa tradisi ini juga pada intinya melambangkan kesucian dan rasa sukacita memasuki ibadah puasa yang merupakan bentuk iman kesalehan individual dan kolektif.

Tradisi megengan biasanya berlangsung seminggu sebelum Puasa. Tradisi ini dilaksanakan dengan cara mengirim makanan kepada keluarga dan tetangga.

Jenis makanannya bisa beraneka ragam seperti; Nasi tumpeng, iwak ingkung, keper, thontho, gereh pethek, tempe, serta akan tetapi tiga jenis makanan yang tidak boleh ditinggalkan yaitu ketan, kolak, dan apem.
 
Masing-masing jenis makanan ini mempunyai arti dan makna tertentu.
* Ketan, makanan ini merupakan simbol eratnya tali silaturahmi.

* Kolak, makanan yang diolah dengan menggunakan santan yang manis, melambangkan hubungan kekeluargaan yang selalu harmonis dan bahagia.

* Apem, makanan yang mempunyai arti kesediaan untuk saling memaafkan.

Tradisi megengan ini ternyata tidak hanya menjaga hubungan sosial tetapi juga turut memutar roda perekonomian.

Kebutuhan masyarakat akan bahan makanan untuk megengan ini memunculkan pasar kaget ruwahan dikota-kota santri di Jawa. Karena banyaknya orang berkumpul, serta suasana yang meriah membuat pasar kaget ini menjadi satu acara yang menarik, seperti halnya Dugderan di Semarang atau Dhandangan di Kudus.

Tak heran tradisi ruwahan ini membuat orang yang tinggal di luar daerah, selalu rindu untuk pulang atau biasa disebut mudik ruwahan.

Sumber Kp Norman Hadinegoro selaku; Tokoh dan Budayawan,  serta pembina dan penasehat beberpa lembaga dan organisasi Ormas OKP, beliau juga selaku Komisaris Independen PT Berdikari Meubel Nusantara milik BUMN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun