Mohon tunggu...
Ari Ahmad Afandi
Ari Ahmad Afandi Mohon Tunggu... -

Orang biasa yang ingin belajar lebih banyak, mengenal makna hidup lebih dalam, bukan sekedar apa yang terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga atau yang tergambarkan oleh bayangan.. Namun apa yang bisa dilakukan semua oleh kemurnian hati yang ada di dalam sana.. aa-afandi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ironi Pergerakan Mahasiswa Kontemporer

19 Januari 2011   08:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:24 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahasiswa senantiasa menjadi motor penggerak perubahan. Keinginan yang kuat dalam menyongsong masa depan dan keterbukaannya melihat  beragam sisi kehidupan, mendorong mahasiswa bangkit dari tiap keterpurukan. Kecekatan bekerja dan kekritisan berfikir yang disertai rasa tanggung jawab, menjadi penyejuk bagi zaman yang kian "edan". Tak berlebihan jika istilah "pemuda adalah tulang punggung bangsa" selalu jadi pedoman. Dengan kombinasi luar biasa yang dimilikinya, mahasiswa mampu tampil di depan memegang kendali sebuah peradaban.

Menilik sejarah Indonesia awal kemerdekaan, menjadi bukti nyata peran sentral pergerakan mahasiswa. Sebut saja zaman proklamasi kemerdekaan. Atas inisiatif kuat mahasiswalah akhirnya proklamasi itu berhasil dikumandangkan dan menjadi momentum baru arah perjuangan bangsa Indonesia. Begitu pula dengan reformasi 13 tahun silam. Andil mahasiswa begitu besar dalam mencetuskan angin perubahan dan kemudian menenggelamkan rezim totaliter .

Namun kini ironi seringkali kita jumpai. Tak jarang mahasiswa seakan lupa akan tanggungjawabnya sebagai tumpuan harapan. Sebagian mahasiswa memandang remeh pentingnya pergerakan. Belajar menjadi satu-satunya pilihan. Padahal keadaan negeri ini yang menegenaskan menuntut peran mahasiswa lebih dominan.

Pengetahuan memang akan memberi kemanfaatan bagi banyak orang. Tapi kadang-kadang kenyataan yang terjadi tak seideal yang diinginkan. Seringkali aktivis mahasiswa yang menjadi penggerak perubahan justru puas berlabuh di perusahaan multinasional. Belajar hanya bercita-cita untuk menjadi seorang professional agar gampang mendapat pekerjaan. Mereka yang diharapkan mampu menjadi pelopor penggerak kemajuan baik bidang ekonomi, politik, sosial budaya maupun teknologi hanya bisa memikirkan dirinya sendiri. Sebuah paradigma yang sangat keliru ketika ada yang mengatakan bahwa permasalahan bangsa ini adalah tanggungjawab pemerintah atau orang-orang yang duduk di lembaga saja. Memang benar kebijakan publik ada di tangan mereka. Namun proses lahirnya kebijakan itu menuntut peran aktif mahasiswa. Demikian pula halnya dalam proses pelaksanaan kebijakan itu nanti, mahasiswa harus memiliki sikap kritis menjadi pengontrol agar kebijakan yang dilaksanakan seiring dengan haluan yang ditetapkan.

Bagaimana dengan sebagian mahasiswa yang lain? Pergerakan memang akan tetap dan selalu ada. Namun tampaknya dalam kubu ini pun perpecahan tetap belum bisa terelakkan. Fanatisme kepentingan kelompok pergerakan seringkali menjadi prioritas dan kendali utama arah pergerakan mahasiswa. Kepentingan-kepentingan kelompok ini akhirnya menjadi sekat yang mengaburkan arti pentingnya sebuah kesatuan. Tak jarang kita dapati antar organisasi pergerakan yang saling bersaing dan melecehkan dalam upaya meninggikan nama serta memperebutkan kader-kader militannya. Independensi pergerakan seolah menjadi hal yang langka. Padahal hal itu merupakan nyawa dari pergerakan mahasiswa itu sendiri.

Lebih dari itu yang tak kalah menyedihkan adalah maraknya gaya hidup hedonis di kalangan mahasiswa. Mereka dengan bangganya menghambur-hamburkan uang, melanggengkan pergaulan bebas, meniru budaya-budaya permisif barat yang kian menggerus etika dan moral.

Namun demikian, mereka yang senantiasa berada dalam jalur netral serta terus memikirkan rakyat, berjuang menjalin persatuan, menegakkan demokrasi dan keadilan, serta tetap menjadi garda terdepan ini tak bisa begitu saja diabaikan. Akan selalu ada mereka yang meneriakkan dan menjalin persatuan.

Kini bukanlah saatnya lagi mahasiswa mementingkan dan memikirkan dirinya sendiri. Zaman menghadapkan kita pada beragam persoalan yang kian kompleks. Bangsa ini tak membutuhkan manusia yang bermental pekerja. Bangsa ini tak memerlukan manusia-manusia robot yang hanya tunduk perintah sang bos tanpa memiliki kreativitas mengembangkan diri dalam membangun masyarakatnya. Bangsa ini membutuhkan pemikir dan pemimpin yang peduli dan memiliki integritas. Sudah seharusnya mahasiswa memiliki pemahaman persoalan bangsa dan memiliki kadar intelektual yang bisa diandalkan. Saatnya mahasiswa maju, singsingkan lengan baju. Hilangkan fanatisme kepentingan kelompok maupun individu. Mahasiswa mesti mengedepankan persatuan demi sebuah perubahan. Kalau bukan kepada mahasiswa, kepada siapa lagi rakyat berharap?

Oleh ARI  AHMAD  AFANDI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun