Mohon tunggu...
A_Tiara Maharani
A_Tiara Maharani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saintis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perwujudan Reforma Agraria dalam Pengelolaan Hutan Lindung dan Konservasi

29 November 2022   17:45 Diperbarui: 29 November 2022   17:52 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Reforma Agraria" mungkin kata yang masih asing bagi sebagian orang saat membacanya. Pertama-tama akan saya beri sedikit pemahaman mengenai Reforma Agraria, menurut pasal 1 ayat 1 dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 86 tahun 2018 tertulis "Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui Penataan Aset dan disertai dengan Penataan Akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia." Dengan Reforma Agraria, akan terjadi peningkatan produktivitas rakyat, serta mengatasi kesenjangan kepemilikan lahan. Pemerintah RI, melalui kementerian ATR dan KLHK, telah melakukan pendataan 21,7 juta hektare lahan yang siap untuk diredistribusi dan diakses rakyat melalui program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial. Telah ditegaskan juga oleh Presiden bahwa yang mendapatkan hak untuk mengakses program Perhutanan Sosial adalah rakyat, koperasi, kelompok tani dan gapoktan (keluarga kelompok tani). "Karena kita ingin mengkorporasikan petani, mengkorporasikan koperasi. Masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan hutan secara legal masuk kedalam perekonomian formal berbasis sumber daya hutan," tambah Presiden Jokowi. Jadi, kita sebagai masyarakat berhak untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan lahan yang ada disekitar kita. Kita akan mengira kenapa tidak pemerintah saja yang mengelola? Mengapa kita harus ikut berpartisipasi? Itulah pertanyaan yang akan tersirat dalam pikiran kita saat ini.
Seperti yang telah di sebutkan dalam bab 2 pasal 2 dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 86 tahun 2018, Reforma Agraria memiliki tujuan diantara lain: a. mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan; b. menangani Sengketa dan Konflik Agraria; c. menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan; e. memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi; f. meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan; dan g. memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup. Membuktikan bahwa penetapan Reforma Agraria memberikan manfaat juga kepada kita semua. Hal ini bukan semata-mata untuk kesenangan pemerintah saja ataupun mempersulit masyarakat. Dalam pasal tersebut membuktikan, keikutsertaan masyarakat memang akan bermanfaat untuk masyarat itu sendiri.
Selain berdampak bagi manusia itu sendiri, poin utama yaitu lingkungan pasti sangat berdampak atas terwudnya program ini. Salah satu yang terpikirkan dari kita atas partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lahan yaitu bagaimana dengan hutan lindung dan konservasi? Adanya penanganan khusus dalam mengelola hutan lindung dan konservasi menutup kemungkinan partisipasi masyarakat dalam mengelola hutan tersebut. Juga telah diterbitkan dari beberapa peraturan yang digunakan sebagai pijakan pelaksanaan Reforma Agraria kehutanan ini. Namun, peraturan tersebut belum dapat mampu benar-benar melaksanakan Reforma Agraria kehutanan, terutama atas penguasaan tanah oleh rakyat di kawasan hutan lindung dan konservasi. Proses pelepasan kawasan hutan lindung harus melalui kriteria penapisan yang rumit. Sementara itu, dalam kasus hutan konservasi bahkan tidak tersedia jalan sama sekali untuk memproses usulan pelepasan lahan lebih lanjut karena satu-satunya solusi yang tersedia adalah resettlement. Sebenarnya, kondisi eksisting dari sisi ekologis maupun sosial (konflik) yang belangsung di kawasan hutan konservasi perlu diperiksa pula dan dijadikan landasan penyelesaian. Namun, kebijakan yang ada tidak membuka peluang sama sekali bagi masyarakat untuk melakukan gugatan atas status lahan yang dikuasai dalam kawasan hutan konservasi. Kawasan lindung dan konservasi bukan berarti menjadi kawasan yang aman dan terjaga. Selain itu, ada juga konflik sosial sekitar yang dapat timbul dari penetapan peraturan ini. Memungkinkan terjadinya eskalasi konflik akibat pelaksanaan resettlement perlu dipertimbangkan dalam memilih RA pada tanah tanah kawasan hutan konservasi yang telah menjadi pemukiman warga sebelumnya. Dalam kenyataannya, proses pelaksanaan RA dengan objek kawasan hutan ini begitu sulit. Meskipun warga telah mengajukan kawasan hutan yang telah mereka diami dan garap sejak bertahun lampau, namun dalam proses pelepasan kawasan hutan ternyata ada mekanisme verifikasi yang didasarkan pada jenis dan fungsi kawasan hutan sesuai penetapan pemerintah. Berdasarkan hal ini, maka penyelesaian atas ragam jenis pemanfaatan tanah yang berada di dalam kawasan hutan akan diperlakukan secara berbeda-beda, dan hal ini menjadi mekanisme tapisan yang dapat menggugurkan usulan pelepasan kawasan hutan yang diajukan warga.
Resettlement merupakan solusi yang belum memadai untuk melaksanakan kebijakan RA pada kawasan hutan konservasi. Sebaliknya, solusi ini bahkan melemahkan dan menjauhkan warga dari penguasaan tanahnya di Kawasan hutan konservasi tersebut. Lebih lanjut, solusi ini bahkan sangat potensial menimbulkan konflik atau perlawanan yang lebih besar ketika warga yang telah lama mendiami atau hidup di dalam kawasan hutan konservasi dipaksa untuk pindah ke wilayah lain. Pada kenyataannya, pola penyelesaian resettlement ini dalam berbagai skema telah banyak dilakukan di berbagai taman nasional dan terbukti sebagian besarnya gagal.
Untuk itu, pengelolaan hutan konservasi dan lindung memang tidak bisa dilepas sepenuhnya. Opsi lain untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya adalah tetap mengawasi setiap proses pengelolaan lahan dari pemerintah daerah setempat dan memberikan dasar hukum yang sah atas segala sumber daya alam yang ada. Dengan begitu, hal-hal yang tidak diharapkan tidak dapat terjadi dan tidak merugikan satu pihak saja. Selain mengutamakan kesejahteraan masyarakat perlunya kita memperhatikan alam yang akan dikelola nantinya. Manusia sebagai makhluk sosial saling hidup berdampingan dengan makhluk hidup lainnya harus bisa saling memahami karena hanya manusia yang bisa melakukan konservasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun