Saya baru terbaca artikel ini, tulisan saudara Bernard Agapa
http://politik.kompasiana.com/2011/08/20/sadar-atau-tidak-indonesia-menjajah-papua/
Setelah sekian lama mengikuti diskusi mengenai Papua, Papua Merdeka dan Referendum Papua yang muncul baik di Kompasiana, maupun di jejaring sosial Facebook.
Ada beberapa hal yang ingin saya komentari dari artikel ini, antara lain :
[Organisasi hak asasi manusia internasional dan lokal memperkirakan setidaknya 100.000 warga Papua telah dibunuh oleh pasukan TNI. Diantaranya laporan ELSAM tahun 2006, “tahun 1963-1969 korban orang Papua oleh operasi militer diperkirakan oleh Osborne dengan mengutip Hasting berjumlah 2.000 sampai 3.000 orang.” Laporan-laporan itu pun hanya menjadi catatan kosong yang tidak pernah ditindak lanjuti dan diadili sebagai penjahat perang. Walaupun Pemerintah Indonesia selalu mengklaim bahwa Republik Indonesia merupakan negara hukum dan berhasil menelurkan sejumlah peraturan perundang-undangan untuk mengelola urusan di dalam negara tersebut.]
Mungkin bagi pencinta kalimat “NKRI Harga Mati,” akan berkata data ini tidak valid. Tapi jika melihat kejadian-kejadian yang kerap ditampilkan di media, meskipun kadang-kadang disensor, tapi ada juga yang terbeber keluar, “agaknya” pelanggaran itu pasti ada. Jika demikian adanya, maka itu adalah fakta penindasan dan bentuk penjajahan. Karena dalam sejarah, hampir semua kolonialis melakukan hal yang serupa, yakni operasi militer dan penindasan agar dapat meredam suara-suara menuntut “Hak Merdeka.”
[Dari segi sejarah memang tidak bisa dipungkiri jika Indonesia dikategorikan menjajah Papua. Karena didalam sejarah manapun orang Papua tidak pernah meminta untuk bergabung dengan NKRI. Adapun Pepera 1969 dianggap tidak adil, karena isi perjanjian New York Agreement tidak dilaksanakan “One Man, One Vote”. Proses berlansung Pepera yang sebenarnya saat itu dari 800.000 jiwa orang Papua hanya 1025 orang yang memilih (Jhon Saltford, 2006). Berlangsungnya Pepera pun dibawah intimidasi dan teror oleh indonesia walaupun saat itu (1968-1969) di awasi oleh UNTEA (United Nations Involvement With The Act of Self-Determination).]
Orang Papua memang tidak pernah meminta bergabung dengan NKRI, terus atas dasar apa Indonesia mencaplok Papua? Pasti karena menganggap bahwa wilayah kedaulatan Indonesia adalah eks Hindia Belanda, sehingga Papua merupakan bagian tak terpisah. Ini klaim yang paling “rancu” dan “lucu” karena tidak ada dasar hukum yang membolehkan sebuah negeri yang terjajah kemudian diserahkan oleh kuasa penjajah kepada negeri baru muncul sebagai penggantinya. Mestinya diserahkan dulu pada yang empunya hak untuk menentukan pendapat dan nasib sendiri. Lagipula dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) sekalipun yang diakui secara legal oleh hukum internasional, tidak pernah mencantumkan Papua sebagai bagian dari Indonesia.
Kalau dianggap bahwa hak penentuan pendapat itu sudah dilakukan melalui Pepera. Tambah lucu lagi jika dari 800.000 orang Papua hanya diwakili oleh 1025 manusia, sama saja hendak mengatakan bahwa hanya 1025 itu yang punya akal pikiran-cerdas dan punya hak pilih, selebihnya manut saja. Kalau 50 persen +1 saja yang ikut, mungkin masih kuat klaim Pepera tersebut.
[Bahkan indonesia berani mengadakan kontrak dengan perusahaan tambang emas milik Amerika,PT. Freeport tahun 1957 sebelum Papua resmi bergabung dengan Indonesia.]
Yang ini sudah pasti merampas dan merampok! Pertanyaannya, atas dasar apa Indonesia berani melakukan kontrak tersebut, padahal sudah jelas Papua masih merupakan wilayah yang secara hukum internasional berada di luar Indonesia??? (Hasil KMB tak pernah memasukkan Papua Barat sebagai bagian dari Indonesia). Apakah berdasarkan klaim kedaulatan Indonesia adalah eks Hindia Belanda??? Kalau demikian, berarti Indonesia tak lebih dari sekedar perpanjangan atau kelanjutan Hindia Belanda atau Kolonialis berganti rupa:-)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H