Mohon tunggu...
Rudi Handoko
Rudi Handoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengkritisi Palapaisme di Negeri Tanjungpura (Borneo)

20 April 2016   10:43 Diperbarui: 20 April 2016   11:14 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bendera Matan Tanjungpura. Sumber: gogosing11.egloos.com"][/caption]Mengkritisi Palapaisme di Negeri Tanjungpura (Borneo)

Cerita sejarah itu... Disebut sejarah kerna ianya tertulis. Namun banyak juga bersumber dari kisah lisan yang tak tertulis. Apalagi sejarah yang seringkali fokusnya pada raja, mitologi raja dan seputaran kerajaan, maka versinya tentu versi kekuasaan. Meski sesungguhnya, sejarah itu mestilah kaji tentang peradaban secara keseluruhan, termasuk peradaban rakyat yang seringkali terkisah melalui cerita lisan tak tertulis.

Di beberapa daerah, muncul kesadaran kritis untuk mengkritisi hitam putih sejarah, terutama yang terbabit dan berkait dengan kisah klaim, ekspansi, invasi dan penaklukan yang ternyata sangat Majapahitsentris dsb. Sehingga slalu menghubungkaitkan suatu peradaban di luar Jawa dan Majapahit sebagai wilayah yang dipengaruhi, taklukan, bawahan mungkin jajahan. Pengaruh indoktrinasi akan Palapaisme si Gajah Mada ternyata sangat berpengaruh dan berbekas, sehingga tumbuh "penyakit" di kalangan kaum cerdik pandai lokal yang masih dan selalu meletakkan peradaban di tanah Jawa sangat berpengaruh banyak dalam perkembangan peradaban di daerahnya. Secara tak langsung memposisikan bahwa peradaban-peradaban di tanah Jawa itu posisinya induk, pusat, sedangkan yang lain (di wilayah-wilayah lainnya) adalah periferi dan dependen.

Sikap seperti ini yang tumbuh akibat indoktrinasi Palapaisme. Diakui atau tidak telah melahirkan superioritas di satu sisi dan inferioritas di sisi lainnya. Siapa yang superior? Tentu saja, peradaban Majapahit cs, sedangkan peradaban-peradaban lain dan kultur masyarakatnya, berada di sisi yang inferior. Akibatnya apa? Selalu dan selalu, apa saja cerita sejarah yang tumbuh, para cerdik pandai lokal itu dengan inferioritasnya selalu meng-aminkan klaim penaklukan, sebagai bawahan bahkan jajahan dikuasai oleh yang superior itu. Dan dengan sikap inferior itu, maka kaji sumber kesejarahan dan lain sebagainyapun, selalu mengikut dan berpatokan hanya pada rekod/rekaman (klaim) sejarah dari peradaban yang superior.

Contoh riil, ketika bicara tentang peradaban Tanjungpura, maka meng-aminkan dan mengekorlah kita pada apa yang dikatakan (novel) Negarakertagama dan sebangsanya. Yakin dan patuhlaah kita, bahwa Tanjungpura itu betul-betul bawahan Majapahit, pernah juga sebelumnya ditundukkan Singasari dan seterusnya. Seakan mengiyakan betul, bahwa begitu lemah dan mudahnya nenek datok kita jeman bahari dikuasai orang. Akhirnya, pola pikir lemah semangat ini turun temurun mengakar di alam pikiran anak cucunya. Bahwa kita ini memang bawahan dan yang dari seberang sana itu betul-betul berjaya. Anehnya... Kita malah bangga dengan inferioritas itu.

Sebetulnya, secara peribadi bukannya saya tidak mengakui fakta bahwa adanya pengaruh, kerna itu hukumnya dunia, bahwa saling pengaruhi itu pasti ada. Proses pe-Melayuan yang ada di seluruh pesisir Borneo inipun mungkin bukti bahwa kita pernah dipengaruhi Sriwijaya dan peradaban-peradaban dari rantau Sumatera, Kepulauan Riau dan Semenanjung. Begitupun peradaban dari Jawa pasti pernah mempengaruhi. Namun seberapa dalam dan seberapa kuat? Selama tidak ada rekaman sejarah yang tepat dan akurat, pengaruh tentu sebatas pengaruh, belum tentu sebagai bawahan apalagi jajahan sebagaimana cerita klaim Palapaisme itu.

Secara opini peribadi, jika kita menelisik cerita-cerita lisan yang ada, meskipun tak dapat dipakai sebagai data, maka asumsi saya bahwa peradaban-peradaban yang tumbuh di alam Borneo ini tumbuh dan kembang kerna kepiawaian penghuni-penghuni lokalnya. Meskipun akhirnya terpengaruh melalui akulturasi dan asimilasi dengan peradaban-peradaban lainnya, tapi tak menghilangkan fakta bahwa nenek moyang kita mampu berdikari dan mandiri. Tengoklah kisah tentang Peradaban Kutai Lama di belahan Borneo Timur, Nan Sarunai di belahan Borneo Tengah-Selatan, Hulu Aik, Sadaniang, Sepudak, Mempawah Tua, dan sebagainya di Borneo Barat. Artinya puak-puak aseli (dulu belum dikenali dan belum terbahagi Dayak, Kutai, atau Melayu/Banjar, Darat atau Laut) Borneo telah berjaya dengan peradabannya.

Nah, misalkan Tanjungpura di Borneo Barat, meskipun dicatat bahwa Prabu Jaya dari Jawa ikut mendirikannya, namun tak menghilangkan fakta bahwa kedaulatannya kerna ada trah Hulu Aik melalui Puteri Junjung Buih. Dan yang berjaya mengembangkan peradaban tetaplah puak-puak aseli Borneo yang bergabung di bawah daulatnya. Kehadiran Prabu Jaya semata orang semenda di perantauannya, bukan wakil untuk berkuasa di tanah jajahan. Pun jauh sebelumnya, telah ada (A)Ria Siak Bahulun dan Rangga Sentap yang berkuasa. Meskipun cuma cerita lisan dan berbau legenda, tapi jangan kita mungkiri bahwa nenek datok kita pernah berjaya, kerna mereka itu beradab dan mampu mengkonstruksi peradaban. Bukan sebagai bawahan apalagi jajahan.
Cukuplah Majapahitisasi itu!

[Tok Angah]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun