Sebenarnya, tak ingin saya menulis tentang ini, tapi entah ada rasa menggebu untuk meluahkannya.
Kongres HMI (sekte Dipo)... Menjadi salah satu trending topic, menyusul banyaknya pemberitaan miring mengenai seputar Kongres HMI ke-29 di Pekanbaru. Mulai dari cerita 3 milyar dari APBD Riau, membuat rusuh, makan tak bayar, dan seterusnya. Alhasil, citra HMI sedikit banyak turut tercoreng.
Berita, dan pembuat berita memang sejatinya harus selalu cover both side. Saya sepakat dengan ungkapan tak ada asap jika tiada api. Artinya jika tak ada peristiwa, mustahil juga berani diwartakan. Namun tinggal apakah berita itu sepenuhnya benar ataukah sudah dibumbui, didramatisir sedemikian rupa dengan bersineka ragam kepentingan, Apakah bersumber dari sumber yang valid, kalaupun iya, sudahkan dikonfirmasi atau tabayun.
Dari berita-berita yang terbaca, satu hal saja yang sering membuat saya senyum, bahwa pembuat beritapun tak tahu siapa yang dimaksud peserta Kongres, sehingga dipukul rata, misalkan yang "tidak bayar makan" disebut rombongan peserta Kongres, "yang rusuh kerna nasi bungkus" ditulis juga peserta Kongres HMI. Padahal yang namanya peserta itu hanya ada dua kategori, yakni peserta utusan dari Cabang-cabang yang memiliki hak suara dan hak bicara, serta peserta peninjau dari Cabang-cabang yang hanya punya hak bicara. Jika dikalkulasikan dengan jumlah HMI Cabang yang ada, sejatinya tidak akan membludak. Pun para peserta resmi ini merupakan pengurus dari tiap cabang. Kekeliruan mengenal peserta akan membuat tafsiran yang berbeda pula.
Selain peserta resmi tersebut, ada juga yang dinamakan rombongan penggembira, bahkan secara kasar sering dinamakan pula rombongan liar (romli). Mereka bukan peserta Kongres dari cabang-cabang, sebagian besar merupakan rombongan anggota HMI yang ingin turut mengecap kemeriahan Kongres, namun Wallahu'alam kerna tak mudah di-identifikasi, boleh jadi ada "para perusuh" yang menyusupi (mungkin saja yaa, bukan sekadar apologi).
Nah, yang sering diberitakan membajak kapal laut, kendaraan dan riuh rendah itu biasanya yang kategori ini. Walaupun para peserta resmi seringkali juga "rusuh" di forum Kongres.
Romli ini, entah sejak bila munculnya, meski bukan bagian resmi dari pelaksanaan Kongres, namun kehadirannya sangat ikut terasa "memeriahkan" Kongres. Sisi negatifnya, terkadang untuk mengurusi para peserta resmi saja panitia bisa kewalahan, apalagi jika harus mengurusi si romli yang jumlahnya bisa melebihi jumlah peserta resmi. Dan, akhirnya jika sudah begini, keributanpun akan sering terjadi, apalagi jika tak diantisipasi sejak semula.
Pengalaman pribadi mengikuti dua kali Kongres, bahwa perihal si romli juga tidak hanya melulu cerita miring, pun tidak semua romli bertabiat miring itu. Alangkah banyak juga romli yang hadir di seputaran arena Kongres bukan sekadar hadir untuk meramaikan, tapi seringkali mereka membuat "halaqah-halaqah" secara swadaya untuk mengkaji dan berdiskusi tentang berbagai ragam diskursus. Kerna HMI ini bersineka ragam, maka bersineka ragam juga kajinya, mulai dari yang kanan abis, liberal tanggung, sampai kiri sempalan.
Dua wajah si romli tersebut, ibarat suporter sepak bola, terkadang ada kelompok romli garis lurus dan ada pula kelompok romli ultras.
Berlepas dari itu, segala macam dinamika positif-negatif di Kongres HMI ini tentunya menjadi kaca besar dan kritik bagi HMI, terlebih lagi perihal kisruh Kongres yang jadi bulan-bulanan media mainstream dan media sosial.
Misalkan cerita Kongres yang seharusnya menjadi ajang pergulatan ide dan ladang gagasan seputar persoalan ke-HMI-an, keummatan dan kemasyarakatan. Namun tiap kali Kongres, selalu terjadi cerita berulang, yakni kisruh dan molor, berhari, berminggu dan pernah berbulan. Apalagi penyebab utamanya sama saja, endingnya dapat diterka, kecenderungan politis (yang memang mainan utama elit-elit selevel pengurus Badko dan PB) mengalahkan segalanya, menguras energi positif para kader peserta yang datang jauh-jauh hanya untuk "fokus" pada pemilihan Ketua Umum saja. Hal-hal substantif lainnya menjadi terkorbankan, berKongres tapi tak menelurkan ide dan gagasan visioner nan cerdas. Tentunya kita semua selalu mengharapkan Kongres sebagai forum tertinggi itu menjadi forum yang cerdas dan berkualitas. Ukurannya bukan seberapa ramai dan meriah, seberapa besar dananya, berapa banyak tokoh-tokoh kekuasaan menghadirinya. Kongres yang sederhana, sunyi dan khusyuk tapi tiap peserta membawa isi kepala dan mengalirkannya melalui dialektika tentu lebih bermakna.
Dan, sebelum ini, jika melihat Kongres HMI kembaran satunya lagi (HMI sekte MPO) di Tangerang, sungguh berbeda jauh, tak terinput riuh rendahnya, khusyuk dan damai. Mungkin saja ada intrik, tapi sangat internal sekali, tak sampai jadi konsumsi publik. Boleh jadi kultur dua HMI ini berbeda, tapi apa salahnya yang ternampak baik dan sememangnya baik itu diadopsi, apalagi lahir dari satu rahim.
Akhirnya, bagi HMIers sekalian... Kongrespun bukan segalanya, meski ianya forum tertinggi. Pun buat semuanya, baik yang HMIers ataupun bukan. Jika ingin melihat HMI sesungguhnya, jangan hanya lihat Kongresnya dan "keliaran" sebagian romlinya, atau jangan lihat PB dan elit HMInya, apalagi yang sudah mahir "bergerilya" di dunia persilatan kaum parlente. Itu bukan representasi utuh HMI. Tapi lihatlah geliat-semangat perkaderan tanpa pamrih dan polos anak-anak muda di Komisariatnya (biasanya yang begini belum ternoda banyak kepentingan). Lihat juga kelompok-kelompok diskusi yang digawangi kader-kader belia Komisariat, yang kadang bertahan sebulan dua trus mati tapi terkadang tumbuh lagi. Atau cari juga HMI-HMIers yang banyak juga suka berada di jalanan dan bergerak nyata di lapangan. Sebab HMI-HMIers yang seperti ini terkadang juga suka bersembunyi, "betapok" tak mau menampakkan diri. Kerna kalau cuma menyaksikan dan membaca riuh rendah Kongres dan PB HMI atau elit HMI saja, maka akan kecewa. Coz, yang di situ HMI Politis banyak, tapi HMI Intelek dan HMI Organizer Gerakan belum tentu nemu. Buat adek-adek HMI pun, kalau mau belajar mengorganisir, berkawanlah dengan buruh. Kalau mau belajar tentang perlawanan penggusuran dan sebagainya datangilah orang kaki lima. Kalau ingin belajar bertahan hidup dihisap tauke pengepul hasil laut, temuilah nelayan. Kalau ingin tahu cerita perampasan lahan, datangilah petani. Pun andai mau belajar tentang membedah dan menganalisis anggaran, jangan pula cuma untuk cerita cari proyek anggaran. :-)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H