Mohon tunggu...
Rudi Handoko
Rudi Handoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Saya seorang anggota masyarakat biasa di Borneo Barat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kisah Tradisi Syair di Kampongku

25 Mei 2011   07:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:15 1787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Syair adalah bentuk khazanah puisi lama yang akrab di Alam Kesusasteraan Melayu, namun sekarang seperti nasib rekannya sesama jenis puisi lama yakni pantun dan gurindam, syair semakin hilang popularitasnya dan semakin sedikit generasi muda yang tertarik untuk melestarikan seni budaya dan tradisi ini.

Ketika berbicara tentang syair, maka definisi syair berasal dari bahasa Arab syu’ur yang berarti perasaan. So…dari kata syu’ur, muncul kata syi’ru yang berarti puisi dalam pengertian umum yang mempunyai bahasa yang indah dan menarik. Namun, syair di Alam Melayu dengan segala variasinya, dalam perkembangannya mengalami perubahan dan modifikasi sehingga menjadi sesuatu bentuk karya sastra yang khas Melayu, meskipun tidak sepenuhnya menghilangkan pengaruh Arab. Selain pengaruh Arab dan Islam, pengaruh Parsi juga sangat kuat terutama dalam perbendaharaan kata-kata, sehingga dalam kosakata yang sering muncul dalam syair Melayu itupun banyak terdapat kata-kata, kalimat dan istilah dalam bahasa Arab dan Parsi.

Syair juga merupakan media yang digunakan untuk menyebarkan agama dan ajaran agama Islam di Alam Melayu, syair biasanya juga mengungkapkan rasa hati, petuah, nasihat, cinta, filosofi hidup, sejarah, kisah legenda, kiasan, juga sindiran dan sebagainya.

Untuk contoh syair yang terkategori lama dan memuat ajaran Islam-Suluk-Tasawwuf, dapat diambil perumpamaan atau contoh Syair Perahu karya Ulama Sufi Hamzah Fansuri. Malah, Syed Naquib al-Attas berpendapat bahwa syair bernafas Melayu yang menyimpang dari bentuk syair Arab, memang semula dicipta oleh Hamzah Fansuri itu.

Contoh syair tentang kisah sejarah adalah seperti Syair Perang Mengkasar dan Syair Perang Banjarmasin, contoh syair tentang hikayat Raja-raja dan Kerajaan adalah seperti Syair Siak Sri Indrapura Dar As-Salam Al-Qiyam, kalau legenda ada Syair Siti Zubaidah dan masih banyak lagi contoh syair.

Bentuk syair terdiri dari empat baris serangkap dengan rima yang paling populer adalah a-a-a-a. Tiap baris syair terdiri dari delapan hingga dua belas suku kata. Tiap empat baris membentuk satu bait syair, dan merupakan satu kesatuan arti.

Bait syair yang terdiri dari empat baris agak mirip dengan pantun. Letak perbedaannya adalah, empat baris pantun merupakan dua baris sampiran dan dua baris isi yang berdiri sendiri, sementara bait syair tiada sampiran dan semuanya isi atau substansi.

*****

Khusus di daerah Ketapang-Kayong seni budaya dan tradisi mengarang dan bersyair ini juga sudah mulai terpinggirkan. Padahal syair merupakan salah satu seni sastra kekayaan negeri yang dahulunya marak di rantau ini. Di Ketapang-Kayong semenjak zaman Matan Tanjungpura, Simpang-Matan dan Kayong-Matan dikenal sebagai daerah yang membudayakan syair sebagai seni tradisinya.

Perkembangan syair tradisional di negeri ini dinamakan dengan istilah “Kenkarangan Syair,” dan syairnya dikenal dengan “Syair Gulong.” Tradisi bersyair biasa ditampilkan apabila ada kenduri adat, pernikahan, dan hiburan seni dan sebagainya.

Jika menilik sejarah, memang sangat sulit untuk mengetahui sejak kapan tradisi syair berkembang di daerah ini, yang pasti…orang-orang selalu menyebut bahwa syair sudah ada semenjak zaman Kerajaan Tanjungpura berjaya.

Dalam diskusi saya dengan salah seorang pengarang syair dan pelantun syair yang masih ada di kampong saya bernama Wak Aba Rahmat, beliau bercerita bahwa syair ada di Matan Tanjungpura berkisar pada zaman Panembahan Giri Kusuma atau setelahnya yakni Sultan Muhammad Syaifuddin. Karena seperti dikemukakan oleh Wak Aba Rahmat, bahwa pada masa Sultan Muhammad Syaifuddin memerintah Tanjungpura, datanglah rombongan Sultan Tengah atau Raja Tengah. Raja Tengah ini adalah anak dari Sultan Brunei yang merantau hingga sampai terdampar di Negeri Matan Tanjungpura.

Menilik tentang cerita Sultan Tengah atau Raja Tengah, maka didapati cerita, bahwa setelah Raja Tengah dirajakan di Serawak, beliau juga pernah merantau-mengunjungi Johor. Nah, dalam perjalanan pulangnya ini rombongan Raja Tengah dihantam angin ribut dan gelombang besar sehingga terdampar di Negeri Matan-Tanjungpura tersebut.

Karena mengetahui asal usul, perilaku dan adatnya yang baik, akhirnya Raja Tengah bertemu jodoh di Negeri Matan Tanjungpura ini, beliau dinikahkan oleh Raja Tanjungpura dengan adiknya yakni Ratu Mas Surya. Dari keturunan Raja Tengah dan Ratu Mas Surya inilah nantinya menurunkan trah Raja-raja/Sultan-sultan Sambas.

Nah, menurut pemaparan Wak Aba Rahmat ini…salah satu permintaan dari Raja Matan Tanjungpura kepada Raja Tengah sebelum menikahi adiknya adalah sudilah agar Raja Tengah mau menceritakan dan menuliskan cerita perantauannya. Nah, dituliskanlah cerita perantauan Raja Tengah itu ke dalam suatu syair, yang kemudian dilantunkan pada pesta pernikahan mereka. Sehingga kemudian, sejak masa itu tradisi bersyair berkembang dan pada tiap pesta pernikahan biasanya selalu ada yang membacakan syair berisi nasihat dan petuah atau cerita tentang pertemuan dua insan yang menikah itu.

Di Negeri Matan Tanjungpura, termasuk di dalamnya Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara saat ini, dalam melantunkan atau mendendangkan syair dikenal beberapa irama lagu, Wak Aba Rahmatpun kurang begitu faham namanya, yang di-istilahkannye hanyalah irama lagu atau dendangan syair ala Brunei, Matan-Kayong dan Simpang.

Yang dimaksudnya dengan melantunkan atau berdendang syair dengan lagu Brunei adalah…jika anda pernah mendengar Cik Iyeth Bustami menyanyikan lagu Hang Tuah, maka pada prolog awalnya ada lantunan syair :

Tersebut sudah dalam hikayat,
Laksmana Hang Tuah setia amanat,
Menjunjung harkat juga martabat,
Takkan Melayu buang zuriat.

…..

Seperti dendangan Cik Iyeth itulaah yang dimaksud Wak Aba dengan melantunkan dendangan syair ala Brunei. Kalau di Kota Pontianak dan sekitarnya, bersyair dengan irama lagu semacam ini, sering didendangkan pada acara orang bersyair di Radio Kenari.

Sebenarnya saya masih sangsi bin ragu dengan istilah lagu Brunei tersebut. Karena jika mendengar kesamaan irama lagu dendangan syair antara yang ada dalam lagu Hang Tuah Cik Iyeth tersebut dengan cara melantunkan dendangan syair ala Brunei yang dimaksud, mungkin yang dimaksud adalah bersyair dengan irama lagu yang juga berkembang di Kepulauan Riau, mungkin juga berkembang di rantau semenanjung terutama Johor. Ini saya asumsikan bahwa cerita Raja Tengah yang pernah berkunjung ke Johor dan tentunya dalam perjalanan pasti menyinggahi banyak tempat di rantauitu, termasuk di Kepulauan Riau yang masa itu hanyalah satu kerajaan antara Riau dan Johor. Sehingga boleh jadi cara Raja Tengah bersyair adalah dengan cara yang didapatinya dalam perjalanan ke Johor. Namun karena beliau adalah putera Raja Brunei, maka dikenali bersyair dengan lantunan dan dendangan ala Brunei tersebut. Cara melantunkan syair seperti ini masih dapat ditemui di Ketapang-Kayong, Kota Pontianak dan sekitar, juga Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya.

Adapun melantunkan dendangan syair dengan irama lagu Matan-Kayong dan Simpang, memiliki perbedaan dengan dendangan syair ala Brunei tersebut. Susah untuk dituliskan disini, dendangan syair Matan-Kayong dan Simpang agaknye mirip-mirip orang membaca Barzanji, tapi beda-beda sikitlah.

Namun, yang pasti antara melantunkan dendangan syair ala Matan-Kayong dengan Simpang hampir mirip, perbedaannya kalau melantunkan dendangan syair ala Matan-Kayong agak lebih panjang lantunan nadanya daripada melantunkan dendangan syair ala Simpang. Menurut Wak Aba, melantunkan dendangan syair ala Simpang jauh lebih pendek karena untuk mengurangi waktu, sebab syair itu biasanya panjang, jadi kalau dilantunkan dengan nada yang panjang juga maka akan memakan waktu banyak.

Kalau menurut Dr. Chairil Effendi/Mantan Rektor Universitas Tanjungpura Pontianak di dalam kata pengantar Buku Syair Bunge Jambu bahwa lagu bersyair yang ada di pesisir Ketapang dikenali sebagai lagu Selendang Delima dan Nazam Arab.

Alhamdulillah, kalau membaca dan mendendangkan syair dengan ketiga irama lagu, gaya atau cara melantunkan itu saya boleh pahami sikit. Karena semenjak kecil sudah sering mendengar orang melantunkan dendangan syair, masa sekolah di Madrasah Aliyah Ketapang pun salah satu guru saya yakni Bapak Mahmud Mursalin sangat pandai bersyair, sekarang sering pula mendengar orang mendendangkan syair di Radio Kenari…radio lagu senandong, dangdut dan syair…xixixixixixixixixi.

*****

Semua yang saya tulis tentang cerita tentang syair ini masih perlu kajian dan penelitian lebih mendalam. Yang jelas adalah bahwa syair tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan, akan tetapi juga sarat akan pengajaran dan pewarisan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu selayaknya syair, termasuk juga pantun dan gurindam mendapat kembali tempat di khazanah sastra pada masa ini. Bersyair, berpantun dan membuat gurindam tidak akan membuat kita seperti orang ketinggalan zaman, malah jika adat tradisi seperti itu ditinggalkan maka sepanjang hidup akan malu sendiri!

Sumber :

Lagu Hang Tuah, Iyeth Bustami.

ms.wikipedia.org/wiki/syair.

http://mediasauna.multiply.com/journal/item/5/Pantun dan Syair dalam Kesusastraan Melayu Klasik.

Raja Tengah @ http://bert972.blogspot.com.

Syair Bunge Jambu, Syazsya Kayong.

Syair Siak Sri Indrapura Dar As-Salam Al-Qiyam, oleh SPN. Drs. Ahmad Darmawi, M.Ag.

Wak Aba Rahmat, Pengarang dan Pelantun Syair.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun