Saat sedang asyik online, tiba-tiba kali ini tergelitik aku untuk menulis tentang apa guna sekolah, apakah kita belajar hanya di sekolah, belajar untuk sekolah atau belajar untuk hidup? Aku mengutip pepatah atau peribahasa Latin "Non Scholae, Sed Vitae Discimus," yang artinya kurang lebih "kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup." Bagiku ini ungkapan yang menarik dan sepenuhnya aku menyetujui maknanya.
Kita belajar bukan untuk sekolah, bagiku kalimat ini menyentil pola pikir yang selalu terpaku bahwa seseorang baru dikatakan belajar jika dia bersekolah, atau menyindir paradigma pendidikan konvensional yang mengklaim sekolah sebagai satu-satunya sarana belajar yang utama. Karena ternyata sekolah bukanlah satu-satunya sarana belajar dan bukan satu-satunya tempat untuk mencari ilmu, menuntut ilmu dan mengembangkan ilmu. Belajar boleh dimana saja, dengan siapa saja dan pastinya ilmu apa saja, yang penting bermanfaat dan mampu membuat kita survive dalam hidup dan kehidupan, tak mesti tunduk pada kurikulum basi institusi pendidikan ala sekolah itu.
Belajar boleh saja dilakukan di rumah, di rumah ibadah, di alam, bahkan di jalanan. Yang terpenting belajar itu dapat membuat kita cerdas, cerdas secara intelektual, emosional dan juga secara spiritual. Belajar bukan sekedar membuat kita menjadi pintar, karena dalam hidup…pintar itu mudah tapi menjadi cerdas itu yang sulit. Karena bagiku di dalam kecerdasan termaktublah kepintaran, pencerahan, pendewasaan, kematangan berfikir, kreatifitas dan inovasi. Sebab selama ini ternyata institusi pendidikan yang bernama sekolah itu bukannya melahirkan orang-orang yang cerdas tapi malah mengurangi potensi kecerdasan yang senyatanya telah ada sedari kita lahir.
Apalagi lembaga sekolah hanya menilai manusia dengan angka-angka, yang mensubstitusi manusia seperti robot dan ternyata sekolah menjadi tempat pertama dan utama bagi anak-anak mengenal dunia kekerasan, mengenal dunia diskriminasi, mengenal kejahatan dan seterusnya. Pun, sekolah justru berkembang menjadi lembaga yang melanggengkan penindasan atas nama kelas sosial dan kekayaan. Jangan harap orang miskin mampu mengecap pendidikan ala sekolah yang uang pungutannya bermacam jenis dan mencekik leher.
Inilah bedanya belajar dengan sekolah, belajar tak perlu seragam, belajar tak perlu uang les, belajar tak perlu uang komite sekolah, belajar tak perlu uang laboratorium dan seterusnya. Namun sekolah bagi orang miskin adalah penghinaan, karena untuk makan aja mikir apalagi melihat daftar pungutan itu, pastinya pusing.Kemudian, sekolah seperti yang kubilang di atas, bukannya malah mengembangkan potensi kecerdasan tapi malah mematikan dengan daftar kurikulum yang mengekang nalar kreatif peserta belajar.
Suatu contoh sederhana, pernah aku menyuruh kawan-kawan dalam suatu dialog untuk memejamkan mata kemudian membayangkan dan menggambarkan pemandangan dengan jemari mereka, hampir semuanya menggambar gunung dan pantai. Mengapa demikian, karena memang sedari pendidikan dasar, hal itulah yang diajarkan, tanpa kreatifitas dan inovasi. Trus,..pernah ada cerita seorang murid SD kelas 2 menangis karena dipersalahkan gurunya, sebab dia menjawab bahwa makanan kelinci ada keju, padahal menurut versi sang guru harusnya makanan kelinci adalah wortel. Tuh khan, memang pendidikan seperti ini tidak toleran terhadap perbedaan, tidak sensitif terhadap kreatifitas peserta didik, karena semua jawaban telah disediakan dan tanpa ada ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan nalar kreatifitas guna menjawab yang lain.
Selanjutnya, belajar adalah untuk hidup! Aku seyakin-yakinnya menyadari bahwa sekolah tidak akan mampu menyiapkan peserta didiknya untuk siap menghadapi kompetisi kehidupan, apalagi dengan kurikulum yang menindas dan tidak menghargai kecerdasan itu. Omong kosong…ketika ada lembaga pendidikan yang mengiklankan diri bahwa jika lulus dari lembaganya pasti akan mendapatkan pekerjaan! Itu pastilah pembohongan, meskipun anehnya masih banyak orang yang senang dibohongi.
Untuk survive dalam kehidupan adalah melalui proses belajar, dan belajar itu bukan semata-mata di sekolah, apalagi jika sekolah hanya demi mengharapkan selembar kertas (baca: ijazah) yang sesungguhnya tak lebih dari sekadar kertas, dan dengan mengandalkan secarik kertas itulah untuk mencari pekerjaan…Beeeh!
Namun memang inilah realitas sistem kita yang lebih menghargai kertas ketimbang kecerdasan, sistem yang diperbudak oleh persepsi mengenai berharganya ijazah (diperbudak oleh gelar juga tentunya). Padahal kertas itu tak mampu membuktikan apapun untuk mengukur kualitas, kapasitas dan kompetensi manusia. Seorang H. Agus Salim, belajar secara otodidak, tapi mampu menjadi salah satu tokoh nasional dan diplomat ulung yang pernah dimiliki negeri ini, yang mungkin sekarang tak mampu ditandingi oleh diplomat lulusan S3 Hubungan Internasional sekalipun. Begitu juga dengan Buya Hamka, tak pernah mempunya ijazah formal apapun, tapi pemikirannya mampu mengilhami banyak orang dan diakui di dunia.
Ini bukan pembenaran, tapi dalam kehidupan yang diperlukan adalah belajar bukan sekolah! Dalam kehidupan yang dibutuhkan adalah kecerdasan, kreatifitas, inovasi, pengembangan ilmu, pemanfaatan ilmu, sensitifitas sosial, tanggung jawab, toleransi, keterampilan hidup dan pengembangan potensi dasar kemanusiaan lainnya, dan itu amat jarang didapatkan di sekolah.
Karena sekolah sekarang hanya menjadi mesin pengeruk keuntungan finansial bagi penyelenggaranya, sekolah menjadi industri, bukan wahana pembelajaran memanusiakan manusia, pun sekolah sampai saat ini mayoritas tidak menghasilkan apapun kecuali strata sosial, gelar, diskriminasi, kekerasan, pengekangan kreatifitas, pembodohan, penindasan dan menghasilkan manusia robot-robot mesin yang sekadar menjadi blueprint dari kurikulum.
Maaf, dalam tulisan ini terkesan aku menyepelekan sekolah, dan akupun tak mau memaksa agar orang-orang yang membacanya, sefaham denganku. Piss...