Berbagai macam kasus perkawinan yang saya ikut tangani karena berhubungan dengan amanah tugas sehari-hari sehingga muncul inspirasi untuk menorehkan tulisan sederhana ini.
Menurut hemat saya, ungkapan "Jodoh itu di tangan Tuhan" itu benar, namun keterlibatan Tuhan tidaklah 100 %. Ada sebab akibat yang diperankan oleh manusia itu sendiri.
Tuhan tentu akan mengabulkan doa yang pantas untuk dikabulkan. Cara berdoa itu ada yang formalitas saja, yakni dengan ucapan atau bisa ditambah dengan mengangkat tangan namun tidak cocok dengan isi hati dan pikiran yang berdoa. Dan ada yang esensial, Â yakni dengan perasaan dan pikiran, didukung dengan ucapan dan gerakan anggota tubuh. Ini yang lebih dahsyat dan makbul.
Ada orang yang sengaja melibatkan Tuhan untuk mendapatkan jodohnya yakni dengan berdoa dari hatinya. Kalau memang sudah waktunya berjodoh maka doanya akan cepat terkabul dengan syarat: kualifikasi jodohnya sesuai atau pantas dengan kualitas dirinya, tetapi jika kualifikasi jodohnya melebihi kepantasan dirinya maka tentu doanya tertunda pengabulannya sampai dia mencapai kepantasan itu. Tidak sedikit orang yang mendambakan kualifikasi jodoh untuk dirinya atau untuk anaknya (menantu) melebihi kepantasannya, seperti ingin jodoh yang menghimpun banyak kelebihan, misalnya lebih saleh, lebih kaya, lebih pintar, lebih rupawan, lebih pengertian, bisa mengangkat derajatnya, masa lalunya lebih suci dan lain sebagainya. Ada juga orang yang menolak jodoh hadir dalam hidupnya meskipun ucapan doanya meminta jodoh tapi hati dan pikirannya menolak, mungkin karena trauma melihat pernikahan orang lain, seperti orang tuanya, saudaranya dan lain-lain, atau trauma dengan pengalaman dirinya sendiri yang pernah dikecewakan oleh lelaki atau perempuan yang pernah jadi gebetannya, atau mungkin juga karena tidak percaya diri karena sesuatu yang dianggapnya sebuah kekurangan dalam dirinya sehingga merasa tidak pantas untuk menikah dan alasan-alasan lain yang orang itu sendiri yang lebih tahu.
Ada juga orang menikah bukan dengan jodohnya seperti kasus kawin paksa antara Siti Nurbaya dengan Datuk Maringgih.
Bahkan yang agak sial juga adalah yang menjagain jodoh orang selama bertahun-tahun ternyata nikahnya dengan orang lain. Sehingga di hari persandingan orang tersebut dia hanya bisa bersenandung lirih "harusnya aku yang di sana..dampingimu dan bukan dia....".
Bagaimana dengan orang yang bercerai dengan pasangannya. Apakah dia menikah dengan jodohnya?. Menurut saya, kemungkinan besar ia menikah memang dengan jodohnya. Karena masalah jodoh adalah masalah kepantasan, bukan kecocokan dalam segala hal. Â Mustahil ada pasangan pernikahan cocok dalam segala hal karena mereka menikah karena adanya perbedaan, yakni berbeda jenis kelamin yang berakibat perbedaan emosional, berbeda latar belakang pengalaman hidup, pendidikan, pergaulan dan lain sebagainya. Kenapa terjadi perceraian? Karena salah satu atau keduanya tidak sabar lagi berada dalam ikatan pernikahan. Jadi, perceraian adalah pilihan salah satu dari pasangan atau keduanya.
Banyak juga di awal-awal pernikahan merasa cocok dan berusaha saling menyesuaikan diri dengan segala perbedaan satu sama lain bahkan saling mendukung namun kandas ditengah jalan karena munculnya hal-hal baru, baik yang tak terduga maupun tidak terduga seperti hadirnya orang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Mengenai Kehadiran orang ketiga ini ada yang harus diterima bahkan wajib diterima, seperti kehadiran anak hasil perkawinan atau mungkin orang tua maupun anggota keluarga lain yang membutuhkan sehingga perlu untuk menyesuaikan diri dengan kehadiran mereka. Namun ada juga yang harus ditolak jika kehadirannya dapat mengganggu lembaga pernikahan, seperti 'wanita atau pria lain', dalam istilah sekarang disebut WIL atau PIL.
Atau bisa juga kandas karena munculnya persoalan ekonomi, seperti kebanyakan uang yang tidak berbanding lurus dengan keimanan atau sebaliknya kebangkrutan ekonomi, karena persoalan  karir dan penyebab-penyebab lainnya.
Di sinilah letak perbedaannya dalam keberlangsungan ikatan pernikahan, ada yang memilih tetap bersabar dan bertahan karena berbagai alasan seperti menghormati sebuah janji suci, menghargai kesetiaan, mengkhawatirkan psikologis anak jika terjadi perceraian, status sosial, takut rezkinya terancam (bagi yang menggantungkan  rezkinya kepada pasangannya) dan lain sebagainya. Ada juga yang akhirnya memilih perceraian karena berbagai alasan juga seperti karena nafsu, pindah ke lain hati, merasa sakit hati, merasa tidak tahan lagi dengan penderitaan, terancam bahkan ada dengan alasan agama atau "Demi Tuhaan". Â
Ada baiknya segala perbaikan yang diinginkan dimulai dari memperbaiki diri sendiri, nanti yang lain akan terimbas untuk ikut menyesuaikan diri, tanpa perlu untuk sibuk menuntut orang lain memperbaiki dirinya, termasuk masalah jodoh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H